Kisruh TWK KPK Tak Kunjung Usai, Fahri Hamzah Cetuskan Ide Konsolidasi Sistem Presidensial
"Ada kekacauan sistem di dunia dan kita yang berdampak terhadap ekonomi dan politik," ujar dia.
Imron menekankan bahwa isu tentang tidak memenuhi syaratnya ke-51 pegawai KPK ketika ditest TWK tsb memang tentu dirasakan penting bagi sejumlah orang, tetapi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara hal tersebut terlihat seperti riak di tengah lautan atau badai di dalam cangkir, jika dikaitkan dengan ancaman dr pandemi Covid-19, yang melanda Indonesia.
"Lagi pula, KPK ini kan lembaga independen. Sebelumnya saat Presiden komentar tentang KPK, langsung dianggap intervensi. Sekarang Presiden diam, diminta turun tangan untuk intervensi," ungkapnya.
Terkait Ombudsman RI, Prof. Imron menyayangkan kenapa DPR memberikan ruang penegakkan hukum kepada ORI.
"Seharusnya kalau ada maladministrasi bisa dibawa ke PTUN. Kalau ada unsur pidana bisa ke Pengadilan. Ada lagi yang sebenarnya secara filosofis bermakna lebih dalam, yaitu: KPK dengan 51 pegawainya yang tidak lolos TWK itu layaknya seperti piring yang pecah. Sekarang piring itu sudah pecah. Kalau dikembalikan, retaknya itu kan tentu masih ada, sehingga dipastikan akan ciptakan disharmoni jika mereka kembali bekerja di KPK" imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Politisi PDI Perjuangan Kapitra Ampera menyampaikan, kalau perlu KPK, BKN, dan lainnya untuk mengabaikan temuan Ombudsman RI yang menuding proses TWK Pegawai KPK terjadi maladministrasi.
"Kalau perlu bubarkan Ombudsman. Kenapa? Karena ada kepentingan terselubung. Coba diaudit itu Ombudsman. Berapa banyak dia menerima sumbangan luar negeri," kesalnya.
Sementara itu Pakar Hukum Pidana UI Chudry Sitompul menyebutkan, UU No.35 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI itu berkaitan erat dengan Pelayanan Publik, UU No.25 Tahun 2009.