Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

KLHK Cegah Longsor dengan Teknik Soil Bioengineering

Rabu, 22 Januari 2020 – 00:17 WIB
KLHK Cegah Longsor dengan Teknik Soil Bioengineering - JPNN.COM
Bencana longsor di Desa Harkat Jaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jabar, Rabu (8/1). Foto: ANTARA/M Fikri Setiawan

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar telah memerintahkan jajarannya melakukan upaya penataan ruang wilayah dan penggunaan secara proporsional, pembuatan bangunan pengendali banjir, revegetasi di lahan pascatambang, serta penegakan hukum.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk pencegahan dan penanganan bencana tanah longsor dan banjir yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor dan Banten beberapa waktu lalu.

Bencana tanah longsor dan banjir bandang beberapa waktu lalu meliputi Desa Lebak Gedong dan sekitarnya, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak dan kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Banjir Bandang dan Tanah Longsor Kabupaten Lebak dan Bogor, diketahui bahwa kedua lokasi bencana tersebut berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung bagian hulu yaitu sub DAS Ciberang, serta di sub DAS Cidurian Hulu, yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 30 persen.

Mengutip penelitian sebelumnya yang dilakukan Karnawati (2004), Budi Hadi Narendra selaku peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK menyatakan bahwa longsor didefinisikan sebagai gerakan massa tanah atau batuan, maupun kombinasi keduanya menuruni lereng, akibat terganggunya kestabilan massa penyusun lereng tersebut.

“Kestabilan lereng ini dipengaruhi kondisi morfologi, khususnya kemiringan lereng, kondisi batuan atau tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng, sedangkan pemicu longsor itu sendiri berasal dari peningkatan kandungan air dalam lereng karena hujan, getaran saat gempa bumi, serta peningkatan beban seperti bangunan, atau pohon yang terlalu rimbun sehingga melampaui kuat geser tanah, pemotongan kaki lereng yang mengakibatkan menurunnya gaya penyangga, dan susutnya muka air yang cepat di danau/waduk, yang dapat menurunkan gaya penahan lereng,” urai Budi kepada wartawan di Manggala Wanabakti, Selasa (21/1).

Mendukung upaya preventif itu, Budi juga mengemukakan teknik soil bioengineering untuk menstabilkan kelerengan. “Sebagaimana hasil kajian Nugraha et.al (2016), pada prinsipnya metode ini berusaha menutupi permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman, agar akar tanaman dapat meningkatkan kohesi tanah,” sambung dia.

Sebagaimana halnya jenis tanaman akar wangi atau rumput vetiver yang sedang ramai dibicarakan saat ini, Budi menyampaikan, peranan akar pohon sebagai pengcekeraman juga dapat memberikan kestabilan tanah pada lereng, meski tetap bergantung pada faktor lain seperti sistem morfologi, penguatan, distribusi akar, dan interaksi antara akar-tanah.

"Demikian pula halnya karakteristik sistem perakaran tanaman seperti kerapatan akar, jumlah akar, kedalaman akar, pola percabangan akar, sudut kemiringan akar, dan diameter akar juga akan mempengaruhi proses longsoran. Untuk meningkatkan stabilitas lereng, panjang akar mesti mencukupi supaya akar-tanah dapat berinteraksi dan mengcengkeram tanah,” katanya. (cuy/jpnn)

Teknik soil bioengineering untuk menstabilkan kelerengan wilayah yang terjadi banjir dan longsor.

Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close