Kutip Ayat Suci untuk Kampanye Pilpres Salah atau Tidak?
jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Said Salahudin mengkhawatirkan pembelahan di masyarakan akan makin tajam jika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 hanya menjadi persaingan ulang antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto. Menurutnya, penyelenggara pemilu khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengantisipasi potensi disharmoni lantaran pembelahan sejak Pilpres 2014 masih terasa.
"KPU harus benar-benar peka terhadap masalah itu, dan pada saat yang sama juga perlu merumuskan formula yang efektif untuk mencegah terulangnya disharmoni yang terjadi di tengah masyarakat," ujarnya di Jakarta, Sabtu (28/7).
Said menilai KPU sebagai regulator pemilu harus bisa menngeluarkan sejumlah ketentuan yang melarang secara tegas berbagai praktik kampanye hitam (black campaign) pada masa pilpres. Sebab, jenis pelanggaran itu memberi kontribusi cukup besar terhadap munculnya aksi saling serang di antara pendukung capres-cawapres.
"Selama ini, saya perhatikan Peraturan KPU mengenai kampanye masih memuat larangan yang bersifat umum sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Pemilu," katanya.
Said mencontohkan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memuat larangan menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau menghina peserta pemilu. Ada pula larangan menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat, termasuk mengganggu ketertiban umum.
Said menilai jenis-jenis larangan itu masih bersifat umum. Menurutnya, tidak ada ukuran jelas tentang kapan suatu perbuatan digolongkan sebagai penghinaan khusus pemilu.
"Apakah ketika seseorang, katakanlah, mengutip ayat suci dari suatu agama yang diyakininya lantas sekonyong-konyong bisa dikategorikan telah menghina suatu agama? Kan tidak betul pemahaman yang seperti itu," pungkas Said.(gir/jpnn)