Lembaga Pengkajian MPR: Perlu Kaji Ulang UU di Bidang SDA, SDM, dan Dunia Bisnis
“Kesimpulannya, ekonomi konstitusi sangat bernas dan penuh dengan pesan-pesan kesejahteraan,” ucapnya.
Namun faktanya, dilihat dari Economic Islamicity Index (EII) yang mengukur keadilan ekonomi, kesejahteraan dan kesempatan kerja, dan penerapan praktik ekonomi dan finansial yang Islami, Indonesia berada pada urutan nomor 104 dari 208 negara.
Dilihat dari social progress index 2014 yang mengukur pemenuhan kebutuhan pokok manusia, fondasi bagi well being dan kesempatan (oportunitas), Indonesia berada pada urutan 88 dari 132 negara.
“Sudah sejak beberapa dasawarsa, sebesar 80% GDP dihasilkan oleh Jawa-Sumatera dengan sisanya pulau Indonesia lainnya. Kondisi infrastruktur ekonomi, fasilitas pengembangan sosial lebih tersedia di Jawa-Sumatera. Ketimpangan pembangunan ini telah memicu sengketa antar daerah dengan pusat dan belum terkendali penuh hingga kini,” tambah Didik.
Selain itu, sejak beberapa tahun terakhir, kesenjangan sosial tercermin dari tingginya Gini Coefficient sekitar 0,4. Sedangkan indeks gini untuk pemilikan aset, terutama tanah sangat timpang, yakni sekitar 0.67 – 0,7. Indikator-indikator itu menunjukkan bahawa ekonomi Pancasila belum terwujud.
“Untuk mewujudkan ekonomi Pancasila maka peran negara adalah menata kembali, mengkaji, dan mengkoreksi UU. Lembaga Pengkajian sudah melihat banyak sekali UU yang mengacu pada Pasal 33 tetapi sejatinya bertentangan dengan UUD tersebut,” kata Didik.
Untuk ke depan, Lembaga Pengkajian menyarankan untuk mengkaji tiga kelompok perundang-undangan.
Pertema, perundang-undangan bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA). Kedua, perundang-undangan di bidang pengembangan sumber daya manusi (SDM). Ketiga, perundang-undangan di bidang ketatalaksanaan dunia usaha.