Media yang Punah
Oleh: Dhimam Abror DjuraidKetika kemudian kasusnya terbongkar ke publik dan operasional ACT dibekukan dan eksekutifnya terancam dipidanakan, muncul tudingan bahwa Tempo telah melakukan trial by the press, penghakiman oleh pers.
Hubungan love and hate antara media dan pembacanya selalu mengalami pasang surut. Ketika media dianggap bisa memenuhi kebutuhannya maka akan dicintai, dan sebaliknya ketika tidak sesuai dengan harapannya maka akan serta merta dicaci maki.
Para pemimpin ACT yang berseteru yang saling membongkar rahasia. Ketika kemudian terungkap malapraktik pengelolaan keuangan dalam organisasi amal itu, maka Tempo menjadi sasaran kemarahan sekalangan orang.
Seseorang yang memakai psedu-name ‘’Jilbab Hitam’’ menulis di media sosial mengungkap praktik gelap di redaksi Tempo yang menyangkut ‘’jual beli berita’’ di level atas redaksi Tempo.
Kemudian muncul kasus pembunuhan ‘’Brigadir J’’ yang membuat heboh. Media kecolongan total, dan tidak bisa mengendus kasus ini sampai 3 hari setelah kejadian. Itu pun setelah polisi mengeluarkan rilis dengan versinya sendiri.
Baru setelah keluarga korban mengunggah konten ke media sosial yang mengungkap sejumlah kejanggalan, media-media mainstream beramai-ramai mengeksposnya.
Simpang siur terjadi karena ada upaya ‘’cover-up’’ menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya. Sebagaimana biasa, makin sebuah kasus ditutupi makin liar spekulasi yang berkembang.
Berbagai sumber yang tidak kredibel bermunculan. Dewan Pers berupaya memberi guidance supaya pemberitaan muncul dari narasumber yang kredibel. Akan tetapi, Dewan Pers malah mengarahkan media supaya mengambil narasumber resmi dari polisi. Setelah ramai mendapat protes, Dewan Pers menarik pernyataannya.