Meliuk-liuk di Sumba
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput.
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala.
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut.
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana.
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari.
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda.
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari.
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba.
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda.
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua.
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh .
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka.
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh.
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda.
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
*
Begitu hebat Taufik mengenang Umbu. Umbu sendiri memang dikenal sebagai penyair misterius. Semesterius alam Sumba.
Kini umurnya 74 tahun. Tidak di Jogja lagi. Ia tinggal di Bali. Sambil mengasuh rubrik sastra di Bali Pos.
Saat saya di Sumba, Cak Nun mengirimi saya: foto-foto terbaru Umbu. Bersama komunitasnya di Bali. Dalam acara maiyahan.