Mending, Cuma Lempar Kursi
Rabu, 21 Maret 2012 – 08:20 WIB
jpnn.com - MENEG BUMN Dahlan Iskan ngamuk! Lempar kursi di pintu tol Semanggi! Lalu membebaskan mobil masuk tol tanpa bayar! Alias gratis. Musababnya, terlalu panjang antre di depan pintu tol hingga 30 mobil" Terlalu lama pelayanan pembayaran di gerbang tol. Dari 4 gerbang, hanya satu yang berfungsi dengan petugas manual, dan satu GTO – gerbang tol otomatis. Dua loket lainnya kosong, tanpa petugas, tidak dibuka.
Kebetulan, pagi itu, Mercedes Benz L-1-JP S-500 hitam lewat. Pasti, dia juga merasakan dampak buntut panjang antrean itu. Saya bisa membayangkan, bagaimana Dahlan Iskan keluar mobil. Dengan kets dan baju putih lengan panjangnya. Lalu ngomel-ngomel pada petugas tol. Terus, tidak ada yang berani menjawab. Lalu, mengecek sendiri ke loket pembayaran tol, tidak ditemukan petugas.
Wow, intonasinya pasti tambah kencang! Kursi di loket pun “dideportasi”. Dianggap tidak berguna! Lalu dia atur lalu lintas sendiri, sambil memastikan antrean tidak boleh lebih dari lima mobil di semua pintu tol, seperti pesan dia kepada jajaran direksi PT Jasa Marga yang baru.
Pasti serem, gaduh, tegang suasana pagi itu. Di BBM Group, Facebook, Twitter, dan berita news up date di beberapa dot.com juga ikut heboh. Yang saya heran, ini ada “orang ngamuk” kok malah pada senang? Itu kan sama halnya dengan, menari di atas penderitaan orang lain? “Marah” kok malah dijadikan tema diskusi publik yang tak habis-habis sampai sore. “Marah” kok jadi bahan canda dan tawa? Puluhan kawan yang foreward pesan itu ke HP saya.
“Ngamuknya” Dahlan Iskan keren! “Ngamuknya” kreatif! Hah? Coba, darimana rumus logika yang bisa menyambungkan makna kata “mengamuk” dan “keren”" Darimana cara menjelaskan koneksitas antara “ngamuk” dan “kreatif”? Dua kata yang nyaris bersifat resiprokal dan paradoks. Mengamuk itu identik dengan sikap emosional, kata-kata pedas, bahkan menjurus kasar, bernada tinggi dan meledak-ledak. Sedang “keren” itu hal yang positif, bagus, menarik, menyenangkan. Mana ada kata-kata ketus yang menyenangkan" Yang pedas dan nikmat, itu hanya rujak uleg atau rawon setan saja.
Ada juga yang bilang: “Biar kapok loe, Direksi Jasa Marga! Ganti saja kalau malas bekerja dan tidak serius!” Waduh, kali ini sudah satu level lebih tinggi dalam memaknai “ngamuk”nya Dahlan Iskan. Rupanya “ngamuk” itu bisa menyetrom orang lain, bahkan bisa memprovokasi mereka untuk ikut-ikutan bersikap “ngamuk”. Rupanya, “ngamuk” itu semacam virus berbahaya yang bisa mewabah dan menular dengan cepat melalui BBM.
Kekagetan publik melihat ngambek, ngomel dan ngamuk ala Dahlan Iskan itu, bisa saya dimengerti. Banyak orang awam yang tidak yakin, bahkan seperti bermimpi saja, seorang menteri secara vulgar melempar kursi ke luar gardu, lalu mengatur lalulintas sendiri. Kurang kerjaan banget. Cara marah dengan melempar kursi itu sebenarnya hanya satu level terbawah yang biasa dilakukan mantan Dirut PLN ini. Orang bisa saja mengira, marah kok punya gaya.
Bagi saya yang sudah hampir 20 tahun bekerja di Group Jawa Pos, dan juga kawan-kawan yang sudah lama mengenal Dahlan, tentu sudah kenyang dengan cara ngamuknya yang amat khas. Pernah, di ruang redaksi Jawa Pos Graha Pena Surabaya, di lantai empat, di toilet pria dia temukan putung rokok. Bukan main marahnya! Sampai satu minggu penuh, toilet pria dia segel! Artinya, kalau kru redaksi hendak ke toilet harus numpang di ruangan yang berbeda.
Dia tulis sendiri, dia segel sendiri, dia lem sendiri di pintu. “Toilet Disegel!” sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kru redaksi pun saling melempar kesalahan, meskipun tidak ada yang berani mengakui siapa “biang kerok”-nya yang merokok di toilet. Sejak itu, toilet tidak lagi dipakai untuk merokok. Apalagi membuang putungnya.
Masalah putung rokok, juga pernah merepotkan seluruh awak redaksi di kantor Karah Agung, Surabaya. Kala itu, ada smoking area di antara masjid dan ruang pra cetak Jawa Pos. Orang biasa menghisap tembakau bakar di situ. Dia tidak anti, tidak melarang merokok, tapi juga tidak pro rokok. Tetapi, gara-gara ada yang buang putung sembarangan, maka semua orang yang ada di situ, ---tidak peduli yang merokok maupun yang tidak---, diwajibkan kerja bakti memunguti putung, bekas korek api, dan bungkus rokok yang berserakan di seluruh lingkungan.
Mengapa yang bukan perokok juga dikenai sanksi? “Karena membiarkan temannya berbuat buruk dan merusak kesehatannya!” jawab Dahlan, saat ditanya. Membiarkan orang lain “terjerumus” itu termasuk dosa! Termasuk pelanggaran, dan harus turut menanggung risikonya!
Dia juga pernah melempar komputer di lantai yang sama. Gara-garanya kesalahan editing, kesalahan redaksi. Dia banting komputer di depan orang yang membuat kesalahan yang dinilai fatal itu. Tentu, sebelumnya diawali dengan suara keras, intonasi keras, dan tatapan mata yang tajam.
Itu masih belum seberapa! Saat berkantor di Karah Agung Surabaya, pintu masuk kantor kami ada deretan telepon umum. Sekitar tahun, 1995, Dahlan masih mengendarai Isuzu Panther putih bernopol L-10-NE. Hobinya memang menyetir, ngebut, cepat sampai tujuan, dan zero accident. Banyak orang umum yang telepon di situ, dan memarkirkan kendaraanya sembarangan. Terkadang menutup akses masuk, yang amat merepotkan.
Padahal, lokasi telepon umum itu bersebelahan dengan jalan masuk ke kantor dan ruang satpam. Dan, berkali-kali satpam sudah diingatkan, agar posisi parkir sepeda motor yang hendak telepon itu diatur yang rapi! Ibarat penyakit kambuhan, masih saja parkirnya asal dan menutup akses. Suatu ketika, Dahlan sengaja menyerempetkan mobilnya itu ke kerumunan sepeda motor sampai terjatuh. Berapa pun biaya perbaikannya dijamin, tetapi message-nya adalah jaga kerapian, jaga kedisiplinan, tegakkan aturan dan tegur yang salah. Jangan dibiarkan, karena mereka akan bertambah liar.
Ah, masih ada 1001 macam cara marah Dahlan Iskan. Di berbagai kasus, di berbagai daerah, di berbagai level manajemen yang berbeda, reaksi marahnya juga berbeda. Kontekstual dan spontan. Karena itu, Ary Ginanjar Agustian, yang kemarin siang berkunjung ke redaksi INDOPOS menyebut, sosok Dahlan Iskan itu sebagai authentic leadership!
“Ciri seseorang memiliki Authentic Leadership adalah spontanitas dan berkecepatan tinggi. Konsep decision making dalam leadership model ini sangat cepat, karena dia bukan saja dituntun oleh pikirannya, tetapi juga oleh intuisinya. Dan, intuisi atau mata hati mampu melihat 70 kali lebih cepat dibandingkan dengan mata kepala. Seorang authentic leader percaya dengan hatinya,” komentar Presdir ESQ 165 yang sudah eksis sejak 2001 ini.
Nah loe! Masih mending hanya melempar kursi di gerbang tol Semanggi. Masih untung, bukan mengganti kursi direksi! (*)
(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi-Direktur INDOPOS, Wadir Jawa Pos.