Menpar Arief Yahya Anjurkan Pelaku Industri Wisata Segera Go Digital
Melalui ITX Indonesia Travel Xchange, langsung bisa bertransaksi dari searching, booking sampai payment. Lebih gamblang, Claudia Ingkiriwang, Ketua Probis ITX, Sigma memastikan bahwa ITX itu bukanlah OTA, seperti Traveloka atau Agoda. ITX bukan pelaku bisnis pariwisata, bukan penjual tiket ataupun pembuat paket wisata. "ITX itu IT company, bergerak di teknologi, jadi jangan khawatir, kami netral, tidak berbisnis di travel," kata Claudi.
"ITX ini hanya mesin untuk mempertautkan customers atau traveller yang hendak berwisata ke Indonesia dengan induatrinya. Ada accomodation, airlines, dan attraction. Dari searching sampai payment di digital, tidak lagi transfer, bayar via ATM, apalagi teller di bank? Juga tidak perlu komunikasi telepon, karena bisa booking dan security pembayarannya aman," kata Claudia.
Seperti diketahui, pariwisata sudah ditetapkan menjadi core ekonomi Indonesia. Soal devisa, Menpar Arief Yahya memang sudah menyampaikan di berbagai forum, hanya sektor pariwisata yang mampu menyumbang PDB, Devisa dan Lapangan Kerja yang paling mudah, murah dan cepat.
“Soal PDB, pariwisata menyumbang 10 persen PDB nasional, dengan nominal tertinggi di ASEAN. Selama ini kita itu angkanya selalu buruk, di pariwisata ini kita menemukan angka terbaik di regional!” katanya.
Kedua, PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8% dengan trend naik sampai 6,9%, jauh lebih tinggi daripada industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan. Ketiga, devisa pariwisata USD 1 Juta, menghasilkan PDB USD 1,7 juta atau 170 persen. Itu terbilang tertinggi dibanding industri lainnya.
“Jadi kalau selama ini orang mengkategorikan industry itu menjadi migas dan non migas, maka kelak industry itu akan menjadi pariwisata dan non pariwisata,” kata Arief.
Lagi-lagi soal devisa? Pariwisata masih berada di posisi ke-4 penyumbang devisa nasional, sebesar 9,3 persen dibandingkan industri lainnya. Tapi, pertumbuhan devisa pariwisata itu tertinggi, 13 persen. Industri minyak gas bumi, batubara, dan minyak kelapa sawit yang pertumbuhannya negatif.
“Ini penting: Biaya marketing yang diperlukan hanya 2 persen dari proyeksi devisa yang dihasilkan,” kata lulusan ITB Bandung, Surrey University Inggris dan Unpad Bandung itu.