MK Gelontorkan Rp 8,5 M
Untuk Pengadaan Alat TeleconferenceSenin, 23 Juni 2008 – 10:56 WIB
Sekjen MA Janedjri M. Gaffar mengungkapkan sebanyak 33 universitas negeri digandeng dalam program itu. Satu universitas, ujarnya, mendapat jatah anggaran sebesar Rp 250 juta.”Program ini selamanya, cuma kita membuat MoU untuk 5 tahun dulu. Kita sesuai prosedur dan ada juga lelang,” ujarnya usai sidang pleno MK dan Dekan Fakultas Hukum se-Indonesia di Hotel Sultan, Minggu (22/6).
Kenapa universitas? Menurut Jimly, selain untuk menambah wawasan mahasiswa hukum, alat tersebut juga dapat digunakan untuk keperluan universitas misnya latihan peradilan semu maupun kuliah jarak jauh dengan dosen luar negeri.
Pihak MK maupun pihak universitas tempat pelaksanaan sidang pilkada akan terus berkoordinasi dalam pelaksanaan sidang termasuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan pihak yang kalah. ”Makanya itu koordinasi dengan pihak keamanan juga penting,” tambahnya.
Guru besar Fakultas Hukum UI tersebut mengungkapkan selain penggunaan teleconference, ada lagi perbedaan hukum acara sidang pilkada dengan MA. Jimly mengungkapkan sebelumnya ada pembedaan antara pemilihan bupati/walikota dengan pemilihan gubernur. Pilkada bupati/walikota disidangkan di Pengadilan Tinggi sementara pilkada gubernur disidangkan di MA. ”MK kan tidak bisa begitu, dua-duanya akan ditangani MK,” ujarnya.
Dalam praktek peradilan MA, tambah Jimly, pihak terkait tidak dipanggil di persidangan. Dalam sidang MK, semuanya dipanggil dan dimintai keterangan. Subyek yang diadili juga bukan norma melainkan perhitungan suara. Akibatnya, posisi advokat bukan lagi kuasa mewakili, seperti di MA, namun hanya sebagai kuasa pendamping. Pihak berperkara harus datang dan mengikuti jalannya sidang. ”Jangan nggak datang tapi kirim advokat,” ujarnya.
Ditambahkannya, putusan MK adalah final and binding, mau tidak mau harus diterima semua pihak. Sedangkan di MA mengenal banding. ”Tidak puas, hanya bisa mengadu ke Allah SWT,” canda Jimly. (ein)