Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan
Tetapi ketika resistensi lapangan tidak kuat, (terutama karena sudah dikondisikan oleh jejaring di lapangan), dan tidak ada pengawasan yang ketat, maka identitas tersebut dapat tidak digunakan, dan proses berlangsung mengikuti alur trafficking. Modal besar yang ada di dalam bisnis kotor ini, yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dipakai untuk mengamankan segala titik, termasuk orang tua calon PMI. Petugas lapangan kemudian melaporkan lain kepada perusahaan yang memberikan kepadanya SPR dan surat identitas diri, dalam kasus dimana perusahaan penempatan tidak termasuk dalam jejaring tersebut. “Bekal” pembiayaan lapangan kemudian dikembalikan, dan segala pembiayaan lapangan berganti sumbernya dari bandar human trafficking.
Cerita tentang praktek lapangan, dengan posisi SPR sebagai alat pengaman ini, juga mempertegas usulan untuk mengakhiri eksistensi pelaksana penempatan swasta, yang bertanggung jawab atas keamanan praktek human trafficking.
5. POLO dan Sistem Perlindungan di Negara Penempatan
Pekerja migran kita di sektor rumah tangga mungkin merupakan pekerja migran dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah. Untuk Malaysia, misalnya, rata-rata lulusan SMP.
Dengan tingkat pendidikan seperti itu, kita tidak bisa berasumsi tinggi ketika berbicara mengenai kompetensi mereka dan kemampuan mereka melindungi diri. Sekalipun sudah diceramahi dalam pembekalan akhir pemberangkatan (PAP), tentang hak dan tanggung jawab mereka, tentang bagaimana cara melindungi diri, tentang hukum di negara penempatan, tentang bagaimana memperjuangkan hak mereka di hadapan majikan, kita tidak bisa berharap bahwa mereka akan terus mengingat pelajaran tersebut dan dapat menggunakannya.
Misalnya, mengharapkan mereka untuk menyampaikan keluhan mereka kepada majikan jika perlakuan majikan tidak sesuai dengan isi perjanjian kita. Kita yang anak sekolahan saja sulit menyampaikan kepada bos kita di kantor, apalagi pekerja migran kita.
Dengan demikian, maka perlindungan maksimal di atas asumsi-asumsi keterbatasan tersebut merupakan prinsip kebijakan perlindungan di luar negeri yang harus diambil. Harus ada monitoring reguler yang harus dilakukan, terutama di saat-saat awal penempatan, entah dengan berkunjung ke rumah maupun memanfaatkan waktu libur mereka sehari dalam seminggu. Kesempatan itu digunakan untuk terus mengingatkan hak dan kewajiban mereka, dan menggali informasi mengenai perlakuan majikan mereka.
Dalam kasus tertentu, barangkali juga perlu untuk menyampaikan semacam surat sapaan kepada majikan mereka untuk mendukung penciptaan hubungan kerja yang harmonis antara majikan dan pekerja migran kita.
Dengan gambaran kebutuhan seperti itu, maka kebijakan kementerian luar negeri kita yang hanya memberikan ruang bagi satu atase ketenagakerjaan merupakan kebijakan yang memprihatinkan. Bayangkan saja, sementara Filipina yang mempunyai pekerja migran dengan kompetensi tinggi dan dengan kesadaraan hak yang tinggi harus menopang sistem perlindungan pekerja migran mereka dengan suatu lembaga perlindungan yang kuat (POLO: Philippines Overseas Labor Office), kita di Indonesia dengan pekerja migran lebih low-profile hanya mengandalkan satu orang atase ketenagakerjaan.
Saya mengusulkan dibentuknya suatu lembaga semacam POLO yang terdiri dari perwakilan badan-badan pengirim baru dari daerah (sebagai pengganti perusahaan penempatan), yang melakukan monitoring dan pembinaan secara terprogram dan reguler, sebagai penyiasatan terhadap lemahnya pengawasan ketenagakerjaan yang menjadi otoritas negara penempatan dan sulit kita intervensi.