Muak dengan Kekerasan, Warga Negara Ini Berharap Pemilu Segera Berakhir
jpnn.com, BANGUI - Rakyat Republik Afrika Tengah pergi ke tempat pemungutan suara untuk pemilihan presiden dan legislatif, Minggu (27/12). Pesta demokrasi ini berlangsung di tengah ancaman keamanan setelah pemerintah meluncurkan operasi untuk menahan gerakan pemberontak.
Milisi yang memusuhi calon petahana, Faustin-Archange Touadera, telah meningkatkan serangan sejak mahkamah konstitusi menolak pencalonan beberapa kandidat, termasuk mantan Presiden Francois Bozize, pada awal Desember.
Krisis telah membuat banyak orang di negara berpenduduk 4,7 juta yang kaya akan sumber berlian dan emas itu kelelahan.
Krisis juga menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan kembali ke masa kekerasan terburuk pada masa lalu, yang mencakup lima kudeta dan banyak pemberontakan sejak kemerdekaan dari Prancis pada 1960.
"Selama tiga hari terakhir, saya menjaga anak-anak saya dekat dengan saya," kata Israel Malongou, seorang pengusaha di Ibu Kota Bangui. "Saya ingin pemilu berakhir, siapa pun yang menang, sehingga kita bisa kembali ke kehidupan kita."
Touadera pertama kali terpilih pada 2016 setelah pemberontakan tiga tahun sebelumnya, yang menggulingkan Bozize. Dia telah berjuang untuk merebut kendali sebagian besar negara tersebut dari milisi bersenjata.
Gelombang kekerasan berturut-turut sejak 2013 telah menewaskan ribuan orang dan membuat lebih dari satu juta orang terpaksa mengungsi.
Touadera dianggap favorit dari 17 kandidat yang ada. Penantang utamanya adalah Anicet Georges Dologuele, mantan perdana menteri yang menjadi kandidat dengan suara terbanyak kedua pada 2016 dan didukung oleh Bozize.