Pajak Barang Mewah Ponsel Masih Wacana
JAKARTA - Pemerintah belum satu suara terkait rencana pengenaan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk telelpon seluler (ponsel). Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan, pengenaan PPnBM untuk ponsel impor baru sebatas wacana.
Karena itu, dia meminta agar wacana tersebut tidak dibahas lagi karena justru memicu lonjakan impor ponsel karena para importer ingin menumpuk stok sebelum PPnBM diberlakukan. "Itu kan cuma wacana, kenapa diangkat-angkat seolah jadi kebijakan," ujarnya di Gedung DPR kemarin (3/6).
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), impor ponsel dan komputer tablet pada April 2014 melonjak 58,9 persen dari USD 209 juta menjadi USD 332 juta. Lonjakan impor itulah yang menjadi salah satu pemicu defisit neraca perdagangan pada April 2014 yang mencapai USD 1,98 miliar.
Menurut Guru Besar FE Universitas Indonesia (UI) itu, kebijakan fiskal seperti pengenaan PPnBM maupun pajak lainnya yang masih sebatas wacana, mestinya tidak disampaikan ke public. Sebab, hal itu bisa memicu keresahan di kalangan pelaku usaha maupun masyarakat. "Akibatnya, isunya terus menyebar," katanya.
Namun, pernyataan Bambang ini berbeda 180 derajat dengan Menko Perekonomian Chairul Tanjung (CT). Dalam beberapa kesempatan, CT secara terang-terangan menyatakan niatnya mengenakan PPnBM pada ponsel impor. Itu merupakan reaksi atas keputusan Samsung yang lebih memilih membangun pabrik di Vetnam ketimbang Indonesia.
"Silakan (Samsung) bangun pabrik di sana (Vietnam), nanti kita kenai PPnBM," tegasnya Senin (2/6).
Bambang mengakui, ide pengenaan PPnBM terhadap ponsel sebenarnya bukan dari Kementerian Keuangan. Melainkan Kementerian Perindustrian selaku kementerian teknis.
Namun, sampai kemarin Kementerian Keuangan pun belum menerima surat resmi dari Kementerian Perindustrian terkait hal tersebut. "Jadi lebih baik tidak usah dibahas lagi," ucapnya.
Bambang menyebut, gara-gara lonjakan impor ponsel tersebut, defisit neraca perdagangan makin lebar dan menjadi sentimen negatif bagi investor. Hal itu ditunjukkan dari depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah. "Karena itu, kita harus lebih hati-hati agar tidak meresahkan pasar," ujarnya.
Sebagai gambaran, nilai tukar rupiah langsung melemah tajam seiring rilis data defisit neraca dagang oleh BPS Senin lalu (2/6). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, rupiah yang pada Jumat (30/5) berada di posisi Rp 11.611 per USD langsung anjlok ke Rp 11.740 per USD pada Senin (2/6). Kemarin (3/6), rupiah kembali melanjutkan pelemahan ke level Rp 11.806 per USD. (owi)