Pasal Penghinaan Kepala Negara Bakal Jadi Delik Aduan
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) Benny Kabur Harman mengungkapkan, ada aspirasi untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara. Padahal, sebelumnya pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam KUHP telah dihapus berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ada aspirasi yang berkembang kalau penghinaan terhadap kepala negara asing di negara kita dipidana, kok kalau kepala negara kita sendiri malah tidak ada problem,” kata Benny kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Senin (5/2).
Namun demikian, politikus Partai Demokrat itu menegaskan bahwa menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara bukan untuk membungkam kritik. Dia menjamin pasal itu bukan untuk mengeliminasi berbicara dan kontrol terhadap kekuasaan.
Menurut Benny, aturan di negara lain tidak serta-merta bisa disamakan dengan Indonesia. “Tentu setiap bangsa itu kan punya adat istiadat,” jelasnya.
Anggota Panja RUU KUHP Arsul Sani mengatakan, ada perbedaan secara norma dasar antara pasal penghinaan presiden yang dibatalkan MK dengan yang diusulkan dalam RUU KUHP. Menurut Arsul, perbedaan itu terletak pada sifat deliknya.
"Yang tadinya delik umum menjadi delik aduan," ujar Arsul.
Dengan demikian, proses hukum akan berlaku ketika ada laporan dari korban. “Ya presiden dan wapres dong (yang melaporkan, red),” tambah anggota Komisi III DPR ini.(boy/jpnn)