Pembaretan Jokowi Dianggap Aneh dan Mubazir
jpnn.com - JAKARTA - Penghargaan berupa pemberian baret kepada Presiden Joko Widodo dinilai kurang tepat. Simbolisasi pengangkatan Jokowi menjadi warga kehormatan TNI ini dianggap tak perlu mengingat presiden sesungguhnya telah resmi menjadi "warga TNI" ketika diangkat sumpah sebagai kepala negara.
Pandangan tersebut dikemukakan Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, sebab pada Pasal 10 UUD 1945 tegas menyatakan, presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Artinya, ketika menjadi panglima tertinggi, maka sudah tentu presiden termasuk bagian dari warga TNI. “Jadi dengan atau tanpa baret di kepala, kedudukan presiden sebagai panglima tertinggi sekaligus warga TNI, tidak akan berkurang sedikitpun, meskipun presiden berlatarbelakang sipil,” ujarnya, Kamis (16/4).
Menurut Said, kekuasaan presiden atas institusi angkatan perang merupakan konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai kepala negara yang memegang kekuasaan pemerintahan negara. Karena itu dalam konstruksi ketatanegaraan Indonesia, seorang Panglima TNI sebagai pemimpin angkatan perang sekalipun tidak bisa memutuskan perang, kecuali berdasarkan perintah presiden atas persetujuan DPR.
“Jadi kalau pembaretan dan pengangkatan sebagai warga kehormatan TNI dilakukan kepada orang atau pejabat yang kedudukannya setingkat atau levelnya lebih rendah seperti yang belum lama ini dilakukan kepada para gubernur, saya kira itu masih wajar. Tapi kalau presiden itu kan kedudukannya lebih tinggi dari Panglima TNI,” ujarnya.
Sesuai konstitusi kata Said, seharusnya presiden lah yang memberikan gelar, tanda jasa, termasuk tanda kehormatan kepada prajuri TNI, bukan sebaliknya.
“Jadi saya pikir pembaretan ini kurang tepat dan konstitusionalitasnya perlu dikaji ulang oleh Mabes TNI,” ujar Said. (gir/jpnn)