Pemerintah Didesak Serius Urus Masalah Buruh
jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan Pusat Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (DPP K-Sarbumusi NU) meminta Presiden Joko Widodo dan DPR untuk segera melakukan sentralisasi peran Kementerian Ketenagakerjaan dari pusat sampai daerah. Sebab, banyak aturan yang tumpang tindih di pemerintahan dan legislatif terkait perburuhan.
Sekjen DPP K-Barmusi NU Eko Darwanto mengatakan banyak persoalan ketenagakerjaan yang masih bermasalah di daerah. Dan terkadang, kata dia, terjadi aturan yang tumpang tindih dan menyulitkan advokasi jika terjadi permasalahan.
"Seharusnya urusan ketenagakerjaan menjadi bagian yang didesentralisasi menjadi urusan pemerintahan dari pusat sampai daerah. Salah satunya dengan merevisi nomenklatur Kementerian Ketenagakerjaan menjadi urusan pemerintahan absolut," kata Eko dalam konferensi pers di Kantor DPP K-Sarbumusi, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Minggu (30/4).
Eko juga mengkritisi upaya pemerintah untuk merevisi Undang-undang no 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Salah satu penolakannya karena pemerintah ingin memperkecil jumlah Serikat Buruh.
"Alasan threshold yang didengung-dengungkan oleh Kemnaker sebenarnya selama ini sudah dilaksanakan. Hanya persoalannya Kemnaker sendiri tidak menghormati hasil verifikasi Serikat Buruh yang dilakukannya sendiri, selalu semuanya dilibatkan baik Serikat Buruh yang punya anggota ataupun tidak. Lalu untuk apa hasil verifikasi kalau begitu," kata Eko.
Sementara, Sukitman Sudjatmiko selaku Wakil Presiden K-Sarbumusi Bidang Dalam Negeri mengklaim bahwa upaya kriminalisasi terhadap Serikat Buruh semakin massif dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Menurutnya, hal ini akan membuat Serikat Buruh terpecah belah.
Selain itu, kata dia, nasib buruh kian menjadi sengsara dengan politik upah murah yang hingga saat ini masih dilakukan secara sistematis oleh pemerintah. Kebijakan paket ekonomi, tambahnya, merupakan pesanan atas nama mempermudah investasi yang justru merugikan buruh dan anak bangsa Indonesia.
"Demi kepentingan investasi buruh dikorbankan lewat penerapan sistem upah yang sangat minimal dan jauh dari mencukupi kebutuhan hidup layak buruh," pungkas Sukitman. (Mg4/jpnn)