Pengamat: Presiden Baru Otoriter, Indonesia akan Pecah
jpnn.com - JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Rudi Rohi mengatakan bahwa presiden yang baru terpilih pada pilpres 9 Juli nanti harus mampu meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Adalah sebuah bencana bila demokrasi yang sudah dipertahankan oleh SBY selama dua periode, harus dimundurkan oleh pemimpin mendatang yang ingin mengembalikan sistem demokrasi ala Orde Baru.
"Sistem demokrasi kita baru tumbuh. Karenanya, setiap rejim yang terbentuk harus menggerakkan demokrasi ke kualitas lebih baik. Sebab demokrasi bukan sistem yang bisa langsung maksimal begitu diterapkan. Namun harus ada pembiasaan terhadap nilai-nilainya atau disebut institusionalisasi," tegas Rudi Rohi saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (2/7)
Karena itu, kata Rudi Rohi, siapapun yang terpilih harus justru membuat kualitas demokrasi lebih baik, di mana intitusionalisasi itu harus terkonsolidasi. "Presiden terpilih, siapapun itu, harus bergerak lebih maju dari apa yang sudah dilakukan rejim SBY yang mempertahankan demokrasi," tambahnya.
Dikatakan, jika demokrasi dimundurkan, misalnya dengan kembali ke model otoriter seperti yag dipraktikkan oleh rejim Orde Baru, maka akan menimbulkan bencana. Sebab mayoritas rakyat Indonesia sudah menyadari pengalaman buruk dengan sistem otoriter di Orde Baru. Pada saat itu, kata dia lagi, kemiskinan dirasakan puluhan tahun, penindasan di daerah, dan individu dimarginalkal tak bisa bersuara. Yang ada, kelompok tertentu menguaasi dan merampok atas nama negara.
"Sekarang kita sadar setiap satu suara pun penting menyuarakan aspirasinya. Kalau kita memaksakan otoritarianisme, negara ini akan pecah. Karena banyak daerah yang sudah merasakan buruknya otoritarianisme dan pasti melawan," tandasnya.
Pernyataan Rudi itu menanggapi tulisan Peneliti Politik yang berbasis di Australian National University, Profesor Edward Aspinall dan Dr. Marcus Mietzner. Dalam tulisannya, mereka menilai capres Prabowo Subianto, sudah mengindikasikan ingin kembali format politik Indonesia ke sistem otoriter, antara lain, dengan menghapus pemilihan langsung.
Penilaian Profesor Edward Aspinall dan Dr Marcus Mietzner didasarkan orasi Prabowo di salah satu acara di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (28/6). Pada saat itu, Prabowo menyatakan bahwa pemilihan langsung tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Baik Aspinall dan Mietzer sepakat berasumsi apa yang ada di benak Prabowo bukan hanya penghapusan pemilu kepala daerah, tetapi juga kembali kepada pemilihan tidak langsung Presiden melalui MPR, proses yang digunakan Suharto yang pada masa lalu, dan akan selalu, yang terbuka untuk manipulasi dan politik patronase.
Menurut Rudi Rohi, wajar bila para pemikir demokrasi yang sudah optimis selama dua periode kepemimpinan SBY menjadi khawatir. Sebab mengembalikan ke praktik otoriter ala Orba akan memutus mata rantai hubungan rakyat dengan pemimpinnya.
"Karena belum ditemukan model lebih baik sebagai pengganti demokrasi. Makanya sederhana, apapun sebutannya, kalau hubungan rakyat dan calon pemimpin diputus mata rantainya, sejak saat itulah demokrasi itu mati, sejak saat itu legitimasi kedaulatan pemerintahan sudah tak ada. Di sinilah bahayanya, kalau misalnya salah satu calon presiden itu benar-benar melaksanakan niat kembali ke sistem otoriter ala Orba. Ini warning bagi semua," pungkasnya.(fuz/jpnn)