Percayalah, Gaya Freeport Mirip Reinkarnasi VOC
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mukhtar Tompo menyatakan, arogansi PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam berbisnis sudah sangat keterlaluan. Menurutnya, gaya anak perusahaan Freeport-McMoRan itu sudah seperti Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di era penjajahan Belanda.
“Setelah mempelajari sejumlah dokumen, mulai dari kontrak karya 1991, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga surat dari Freeport yang menolak IUPK (izin usaha pertambangan khusus, red), saya menyimpulkan Freeport adalah reinkarnasi VOC,” kata Mukhtar dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/3).
Mukhtar mengatakan, sudah banyak bukti tentang arogansi PTFI. Pertama, Freeport tidak punya itikad baik untuk membangun smelter sebagaimana perintah UU Mineral dan Batu Bara (Minerba).
“Belakangan, Freeport berdalih bahwa mereka akan melanjutkan pembangunan smelter jika diberikan kepastian perpanjangan kontrak setelah 2021,” katanya.
Kedua, lanjut politikus Partai Hanura itu, Freeport menggunakan frasa “dengan syarat” untuk menyetujui operasi PTFI melewati tahun 2021 atau perpanjangan 2021-2041. Untungnya, kata Mukhtar, saat ini ada Ignasius Jonan sebagai menteri ESDM yang berkepala dingin.
“Kalau saya menterinya, tanpa pikir panjang lagi saya langsung usir mereka. Ini negeri kita, kok mereka mau mendikte soolah negara ini tidak punya kedaulatan,” kata anak buah Oesman Sapta Oedang (OSO) di Hanura itu.
Dia menambahkan, selama ini Freeport selalu mengatasnamakan kontrak karya untuk melanggar sejumlah UU atau peraturan yang berlaku di Indonesia. Padahal, dalam pasal 3 kontrak karya ditegaskan bahwa PTFI adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan UU Republik Indonesia, serta tunduk kepada UU dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia.
“Saya menganggap cara pandang Freeport yang menganggap dirinya setara dengan pemerintah, adalah cara pandang keliru,” katanya.
Muhktar lantas mengutip pendapat dari Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana. “Bahwa Freeport harus membedakan pemerintah sebagai subjek hukum perdata, dan sebagai subjek hukum publik,” ujarnya.(boy/jpnn)