Pesantren Al Hidayah, Mengikis Dendam Anak Para Teroris
Amaliah jihad yang dia laksanakan memakan banyak korban. Terutama orang-orang yang tidak bersalah. ’’Ide mendirikan pesantren itu muncul waktu awal-awal di penjara,’’ ucapnya saat ditemui di kantor pesantren pada Senin lalu (21/5).
Inspirasi tersebut datang setelah mengetahui banyak anak ikhwan jihadi yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Banyak pula yang menjadi korban perundungan.
Kebetulan, saat itu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menggagas program deradikalisasi. Keinginan Ghazali mendirikan pesantren pun semakin kuat.
’’Kalau dibiarkan, akan sangat berbahaya. Sebab, mereka pasti akan mewarisi semangat jihad yang salah. Terorisme akan terus berlanjut,’’ terangnya.
Saat itu, dia melihat negara menelantarkan anak-anak mantan teroris. Tak ada biaya, banyak di antara mereka yang akhirnya tak bisa bersekolah. Padahal, bisa dibilang, mereka juga korban.
Komitmen tersebut akhirnya dia realisasikan ketika bebas bersyarat pada 2015. Di kampung halamannya, Desa Sei Mencirin, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang, Gazali pun merintis pesantren yang awalnya diberi nama Pesantren Darusy Syifa’.
Yang pertama dibangun adalah musala kecil berukuran 5 x 5 meter yang terbuat dari kayu mindi. Musala tanpa dinding itu sampai sekarang masih berdiri. ’’Dana tidak ada. Jadi, kami bangun tanpa dinding. Yang penting bisa untuk salat,’’ tutur dia.
Pada 2016, Gazali mulai membangun asrama berukuran 5 x 7 meter. Asrama itu dibangun dengan dinding gedek dan atap rumbia daun pohon nipah. Asrama tersebut dia bangun dengan biaya pribadi dari royaltinya menulis tiga buku bertema kontraradikalisme.