Revisi Aturan PLTS Atap, IRESS: Bisnis dan Perburuan Rente Lebih Mengemuka
Menurutnya, kajian akademis terbaru oleh sejumlah pakar energi menyatakan bahwa tarif ekspor-impor listrik yang wajar dan adil adalah 0,56:1.
Karena telah terlanjur membuat aturan tarif ekspor-impor 0,65:1, maka cukup layak jika pemerintah mempertahankan dan konsumen pun memaklumi.
"Jika tarif ekspor-impor dirubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik antara konsumen PLTS Atap dengan PLN," jelas Marwan.
Sementara itu, kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLTS, yang nilainya sekitar Rp1.400/kWh dangan BPP PLTU yang nilainya sekitar Rp900/kWh.
Marwan mengungkapkan, hal tersebut jelas semakin memberatkan APBN. Meski disebut dana kompensasi, namun pada dasarnya dana tersebut merupakan subsidi energi.
"Ironisnya, subsidi tersebut malah dinikmati para pihak yang diberi kesempatan berbisnis melalui tarif ekspor-impor liberal 1:1, atas nama energi bersih dan target EBT 23 persen," ujarnya.
Padahal, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi TKDN maksimum 40 persen. Sisanya komponen impor, terutama dari China.
Dengan adanya penggunaan PLTS Atap digalakkan, sementara industri atau pabrik sel solar sebagai komponen utama PLTS tidak berkembang atau justru dihambat berkembang, maka yang terjadi adalah bocornya kompensasi atau subsidi APBN ke produsen solar PV di luar negeri.(chi/jpnn)