Saharuddin Daming, di Tengah 'Kegelapan' Raih Doktor Bidang Hukum
Sang Wali Kelas Hanya Anjurkan Kursus PijatSeperti yang dialami Udin, dorongan dari orang-orang sekelilingnya membuat tunanetra seperti dirinya tak pernah patah semangat. Bahkan, dia tetap optimistis melihat masa depan. Udin sebetulnya tidak buta sejak lahir. Bencana itu dialami bungsu dari lima bersaudara itu saat berusia 10 tahun.
Sebelum mengalami kebutaan, Udin juga ikut membantu usaha ibunya menjajakan jagung bakar di emper-emper toko. Sitti Lai, sang ibu, memang harus mencari nafkah tambahan setelah Daming, suaminya (ayah Udin) yang pensiunan kotapraja meninggal dunia ketika Udin berusia enam tahun. "Ibu begitu lihai mengatasi impitan ekonomi keluarga, sehingga saya memutuskan melakukan pekerjaan sambilan," kata Udin. Beberapa pekerjaan pernah dilakoninya, seperti menjajakan kue, es lilin buatan orang lain, menjadi kuli bangunan ,dan kondektur angkutan umum di kota.
Suatu hari, kata Udin, keluarganya punya kegiatan kerja bersama. Saat itu rumah panggung khas Bugis yang baru dibeli harus dibongkar dan mau dirakit di atas tanah keluarga. Satu per satu rangkaian kayu dilepas. Termasuk bagian atap yang terbuat dari daun nipah (sejenis palem) yang sudah sangat retas. "Saat dijatuhkan ke tanah, debu berhamburan," kenang Udin.
Mata kanan Udin secara tidak sengaja kemasukan debu dari partikel atap tadi. "Serta merta tangan ini mengucek-ucek mata untuk menghilangkan rasa gatal dan perih," kenang Udin.
Tangan Udin terus mengucek matanya sambil berjalan dari tempat pembongkaran ke tempat perakitan yang berjarak kurang lebih dua kilometer. Namun, semakin dikucek, rasa gatal dan perih di mata semakin keras. Yang fatal, upaya itu justru menimbulkan iritasi. Akibatnya, lingkaran pandang mata Udin terganggu dengan kabut kemerah-merahan. Kondisi itu terus berlanjut, hingga dalam waktu kurang dari satu tahun mata kanannya buta total. Namun, Udin enggan menceritakan keadaannya itu.
Hanya dengan satu mata, Udin tetap melanjutkan kebiasaan membaca. Tak kurang 12 jilid buku dilahapnya hampir tiap hari. Namun, itu justru berpengaruh pada mata kiri. Dampak pencahayaan yang kurang, mata kirinya juga mengalami nasib persis dengan gejala yang pernah menimpa mata kanannya.
Gangguan mata yang dialaminya memang serius. Itu diketahui saat ada pemeriksaan cuma-cuma di sekolah dan dia dirujuk ke rumah sakit. "Dokter menyarankan saya agar berkaca mata," kata Udin.
Namun, kata Udin, karena alasan ekonomi, anjuran itu tidak dipenuhi. "Saya tidak tahan diledek teman sekolah," sambungnya. Akhirnya, memasuki catur wulan pertama di kelas enam SD, Udin benar-benar buta total.