Saharuddin Daming, di Tengah 'Kegelapan' Raih Doktor Bidang Hukum
Sang Wali Kelas Hanya Anjurkan Kursus PijatKeluarganya sempat membawa Udin ke pusat perawatan mata di Makassar. Dokter lantas memutuskan melakukan operasi. Namun, nahas, dari lebih 20 pasien yang menjalani operasi, Udinlah satu-satunya yang gagal memulihkan penglihatan pascaoperasi. "Keluarga panik, tim dokter pun ikut heran dan bingung. Sebab, dari semua pasien, justru saya yang paling diprioritaskan," kenangnya. Hasil diagnosis menyimpulkan, sistem saraf otak ke retina mata Udin mengalami kelumpuhan.
Sosok Udin berubah menjadi pendiam dan sering merenung. Menyadari hal itu, kakak keduanya, Narti, mencoba menghibur dan memotivasi. Setiap sore sepulang kerja dari tugas sebagai perawat, Narti mendatanginya. Kemudian mereka berbincang banyak hal, dari soal agama hingga politik. Sebuah radio juga dihadiahkan kepada Udin.
Saat ditawari melanjutkan sekolah ke sekolah luar biasa (SLB), Udin justru marah dan tersinggung. "Kak, SLB itu kan sekolah para penyandang cacat. Apakah kakak menganggap adik ini sebagai seorang cacat? Saya tidak mau," kata Udin mengulangi ucapannya dulu.
Secara tak sengaja Narti bertemu A. Hamzah, seorang tunanetra. Setelah berbincang, Narti mengetahui bahwa Hamzah adalah alumnus sebuah SLB di Makassar dan dapat bepergian ke mana-mana tanpa pendamping khusus. Dia lantas meminta Hamzah memberi pencerahan bagi Udin. Cara itu berhasil. "Saya meminta segera diantar ke SLB di Makassar," ucap Udin.
Setelah menamatkan pendidikan di SLB-A Yapti Makassar pada 1985, Udin melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah di kota yang sama. Meski awalnya dipandang sinis, Udin membuktikan diri dengan meraih peringkat satu di kelas dan menggondol prestasi belajar tertinggi untuk tingkat rayon. Tak tanggung-tanggung, saingannya adalah mereka yang bukan tunanetra.
Namun, keberhasilan itu tidak menjadi alasan bagi wali kelasnya untuk memberi kesempatan Udin mendaftar ke penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Alasannya, selain tidak mungkin diterima, Udin tidak bisa menjadi pegawai atau sarjana. "Jangankan tunanetra, orang yang sehat dan lebih pandai sekarang ini banyak menganggur. Lebih baik cari jalan pintas saja, seperti kursus pijat atau musik biar Ananda lebih cepat dapat penghasilan," kata wali kelasnya ketika itu.
Udin memang tidak menyerah. Diam-diam dia mencoba jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Dia meminta bantuan Ahmad, guru di SLB-A Yapti, mewakilinya mengambil dan mengembalikan formulir. "Kalau panitia tanya saya, katakan saja kalau saya sedang sakit," kata Udin, ketua DPD Pertuni Sulsel pada 1994 itu.
Udin akhirnya lulus seleksi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Lewat kerja keras, Udin menyelesaikan program pada 1994. Dia mendapat nilai sangat memuaskan. Udin bersyukur bisa membuktikan diri kepada wali kelasnya semasa SMA bahwa orang buta tak selalu harus menjadi tukang pijat. (el)