SBY Dinilai Belum Pantas Disebut Kepala Negara
jpnn.com - JAKARTA - Pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan kepala negara harus jadi sumber etik. Dalam peristiwa tertangkapnya Komisioner Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menerima suap, dan SBY melakukan pertemuan dengan pimpinan lembaga-lembaga negara tanpa melibatkan MK, maka saat itu terlihat SBY belum punya kapasitas menyandang predikat kepala negara.
"Bukan hanya Presiden SBY yang resah dengan salah seorang komisioner MK bermasalah. Saya dan jutaan warga negara juga resah. Sikap SBY yang tidak mengundang pimpinan MK saat Presiden berdiskusi dengan pimpinan lembaga-lembaga negara membicarakan MK, itu menunjukkan SBY gagal menjadi sumber etik bernegara," kata Margarito Kamis, dalam Dialog Kenegaraan bertema "Konflik Antarlembaga Negara" di gedung DPD, Senayan Jakarta, Rabu (16/10).
Padahal lanjutnya, dalam kejadian yang sama juga tertangkap tangan oleh KPK seorang anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Chairun Nisa, sementara Ketua DPR diundang Presiden SBY untuk berdiskusi soal MK.
"Kalau saja SBY mengundang MK, baru pantas SBY disebut negarawan. Ini malah menghukum satu lembaga negara hanya gara-gara Akil Mochtar. Standar etik macam apa yang dipakai? Karena Presiden lambang etik dan simbol negara. Makanya di luar negeri disebut kepala negara, tapi tidak tercermin dari kepemimpinan SBY," tegasnya.
Menurut Margarito, panggung negara akan elok kalau dipenuhi dimensi etik. Jangan hanya dengan cara membangun hubungan antarlembaga negara.
Terkait dengan contoh etik berbangsa dan bernegara, Margarito mengambil contoh disaat pertanggung jawaban Presiden BJ Habibie ditolak oleh MPR dan Wakil Presiden Muhammad Hatta yang tidak cocok lagi dengan Presiden Soekarno.
"MPR menolak pertanggung jawaban Habibie. Dengan standar etik yang terukur Habibie tidak maju sebagai calon presiden dalam Pemilu, meski undang-undang tidak melarangnya. Demikian juga halnya dengan Bung Hatta, yang menyatakan mundur sebagai Wapres karena merasa tidak cocok lagi dengan Soekarno," ujar Margarito Kamis. (fas/jpnn)