SBY: Kalau Membantu Dikira Ngerecokin, Ada yang Marah
jpnn.com - SURABAYA - Kasus Polri vs KPK menjadi pembicaraan hangat dalam pertemuan bersama seluruh kader Partai Demokrat di Ballroom Grand City, Surabaya kemarin malam (8/2).
Di hadapan ratusan kader, Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Presiden Jokowi mengusulkan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri sebenarnya sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, setelah usul tersebut masuk di DPR baru ditetapkan sebagai tersangka.
"Saat DPR menyetujui, justru yang menjadi korban adalah Partai Demokrat," ungkapnya saat membeberkan kondisi politik saat ini.
Saat itu terjadi, publik marah dan menolak Komjen BG. Yang disesalkan adalah Jokowi justru menunda pelantikan BG sebagai Kapolri, bukan mencabut posisi tersebut. Itu sebabnya, Megawati marah lantaran BG tidak jadi dilantik. Akhirnya, terjadi aksi saling serang antara Polri dan KPK.
"Masalah ini, kita semua tidak tahu mana yang salah mana yang benar," ujarnya disambut riuh tawa peserta.
Atas kejadian tersebut, rakyat marah kepada Polri. Sebagian masyarakat juga tidak menyukai KPK. Presiden yang diharapkan bisa berbuat banyak menangani kasus tersebut justru memilih status quo. Presiden pun dianggap ragu dan tidak tegas lantaran takut menghadapi Megawati dan ingin menjaga hubungan baik.
Bahkan, Jokowi sempat membentuk tim sembilan yang tidak formal itu untuk mencari jalan keluar atas perpecahan Polri dan KPK. Namun, faktanya tidak ada pengaruhnya. Keputusan Jokowi juga tidak ada. "Rakyat makin geregetan," ujarnya.
SBY mengatakan, kasus Polri dan KPK pun semakin meruncing. Hampir seluruh komisioner KPK dijadikan tersangka. "Situasi seperti itu jika dibiarkan justru menjadi harap-harap cemas. Dan semakin berlarut serta tidak ada kepastian," tambahnya.
Bahkan, lanjut dia, hiruk pikuk politik antara Polri dan KPK di Indonesia sudah mendapat sorotan dari kantor berita di luar negeri. Seperti di Perancis. Begitu juga, ketika dirinya bertemu dengan duta besar internasional dua minggu terakhir ini, banyak pertanyaan muncul. "Where is presiden Jokowi?" katanya.
SBY menuturkan dengan status quo tersebut, jika tidak diselesaikan akan menyebabkan Polri dan KPK terpecah. Polri tidak memiliki satuan komando dan KPK tidak bisa bekerja memberantas korupsi.
Menurut dia, ada solusi untuk menyelesaikan masalah antara Polri dan KPK tersebut. Yaitu, jika Jokowi berani mengambil keputusan tegas dan tidak takut dengan Megawati. Jokowi bertanggung jawab sebagai presiden dan harus mandiri.
Tidak didikte maupun ditekan oleh siapapun dan harus berani bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. "Jokowi adalah presiden kita. Bukan petugas partai," katanya.
Presiden juga harus menonaktifkan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) sesuai aturan. Demikian juga dengan komisioner lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Menurut dia, sebaiknya dikeluarkan perppu untuk aparat anggota KPK baru dan gunakan istilah pemerintah.
"Presiden harus adil. Dulu saya saat menjabat presiden menyayangi kedua-duanya. Baik KPK maupun Polri. Ini harus didukung dalam mengembangkan tugasnya," jelasnya.
Selama ini, Partai Demokrat menahan diri dan wait and see tentang polemik yang terjadi antara Polri dan KPK. Lalu, pernyataan itu muncul pada 25 Januari 2015. Setiap kader PD tidak boleh berkomentar sendiri-sendiri. Para kader pun sangat disiplin mengikuti instruksi ketum PD.
Bahkan, SBY mengaku sempat dibujuk Jokowi untuk turun tangan menangani kasus Polri dan KPK. Namun, dia menolak permintaan tersebut. "Saya bilang tidak. Nanti kalau ikut membantu dikira ngerecokin dan ada yang marah," tandasnya. (Ayu/end)