Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Shame On You Jokowi

Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msi

Kamis, 20 November 2014 – 00:02 WIB
Shame On You Jokowi - JPNN.COM
Ilustrasi: Facebook

Kenapa hal ini menjadi penting? Karena amanat UUD 1945 pasal 33 ayat (1,2,3) dan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 15 Januari 2005 tentang pasal 28 UU No.22/2001 bahwa harga migas  ditetapkan Pemerintah. Atas putusan ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak tinggal diam. Terbitlah Perpres 5/2006 yang mengarahkan harga enerji menuju ke harga keekonomian (maksudnya harga pasar).

Lalu, diberlakukan pula UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang juga mengatur harga energi sebagai harga keekonomian. Tidak puas dengan hal itu, diterbitkan pula Kebijakan Energi Nasional berpayung Peraturan Pemerintah yang menyatakan harga energi adalah harga keekonomian.

Lihat, bukan hanya UU bidang politik yang berantakan. UU tentang energi pun berantakan tidak keruan. Maka pada saat Presiden Joko Widodo memutuskan kenaikan harga RON 88 dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 (naik 30,7 persen), saya mencermati berdasarkan kajian-kajian di atas. Dari aspek kenaikan harga, karena tanpa penjelasan harga pokok produksi, menurut saya Kabinet Kerja terlalu percaya diri untuk menunjukkan buruknya akuntabilitas publik. Prinsip good governance tidak terpenuhi.

Selain itu, dibanding dengan situasi kenaikan BBM 2005, 2008 dan penurunan harga 2009, ditambah dengan tidak kompaknya Kemenkeu dengan Pertamina dalam soal harga pokok produksi RON 88, kenaikan BBM 18 November lalu berpotensi mengundang DPR melakukan interpelasi. Itulah sebabnya sejak awal saya menyampaikan, pemerintahan JW-JK harus hati-hati mempertimbangkan kenaikan BBM. Jika argumennya sempitnya ruang fiskal, maka selain beberapa cara harus ditempuh dalam mengoptimalkan pendapatan dan menghemat belanja, saya pun setuju atas kenaikan RON 88 hanya Rp1.000 per liter. Tujuannya, agar JW-JK tidak kehilangan muka secara eksternal dan internal.

Ada hal lain yang patut dipertimbangkan. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin tahun anggaran 2014 yang tersisa 43 hari pada saat kebijakan menaikkan harga BBM bisa memberi ruang fiskal Rp100 T. Dari sudut turunnya harga minyak dunia mencapai USD75 per barel, perhitungan adalah USD 105 dikurangi USD 75 sama dengan USD 30 dikali Rp 2 triliun sehingga APBNP menghemat Rp 60 triliun.

Ini pun masih harus dihitung lagi, berapa sebenarnya harga rata-rata minyak internasional dengan merujuk mid oil plats Singapore (MOPS) sehingga dalam hitungan tahun fiskal berjalan mustahil terdapat selisih lebih mencapai USD30 per barel. Sementara dari kenaikan harga BBM, penghematan mencapai Rp 10,8 triliun dengan merujuk kuota subsidi. Alhasil, jumlah penghematan sekitar Rp 70,8 triliun.

Hitungan ini bisa salah. Tapi logika yang disampaikan Menkeu bahwa hasil penghematan dari kenaikan BBM itu mencapai Rp 100 triliun sulit diterima. Beberapa wartawan yang mengkonfirmasi hitungan itu ke saya menyatakan bahwa bisa jadi hitungan itu “asbun”. Saya tersenyum, karena memang tidak logis.

Argumen itulah yang membuat saya sulit mengerti, kenapa mesti terburu-buru menaikkan harga BBM. Kenapa membuat kebijakan yang memberi kesan delegitimasi DPR di tengah sistem politik sedang amburadul?

PADA Maret 2005 saat harga minyak internasional naik dari USD25 per barel menjadi USD 60 per barel, pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close