Tergerak setelah Penasaran Lihat Kera Sedih Terus
Tidak banyak orang yang sangat peduli terhadap kelangsungan hidup satwa primata di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan. Karena itu, kiprah Aurelien Francis Brule, warga Prancis yang sudah 16 tahun mengabdikan diri mengonservasi kehidupan owa-owa, salah satu jenis primata, patut diapresiasi.
MARISQA AYU, Jakarta
Aurelien Francis Brule mulai tertarik dengan owa-owa saat diajak orang tuanya mengunjungi kebun binatang di kota kelahirannya di Prancis. Pada usia 12 tahun, Chanee "panggilan Aurelien Francis Brule" merasakan ada yang aneh dengan owa-owa. Binatang bernama latin Hylobates muelleri itu terlihat selalu menyendiri. Ketika hewan-hewan lain aktif bergerak dan bermain dengan kawanannya, hewan yang satu itu justru diam dan terlihat sedih.
Rasa penasaran itulah yang akhirnya membuat laki-laki kelahiran 2 Juli 1979 tersebut memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang setiap Rabu guna mengamati primata tersebut. Saking penasarannya, rutinitas itu sampai berlangsung selama lima tahun!
"Awalnya saya penasaran mengapa owa-owa selalu tampak sedih, tidak gembira seperti yang lain. Tidak terasa selama lima tahun saya mendatangi dan mengamati perilaku owa-owa itu. Saya selalu diantar ibu," ungkap Chanee kepada Jawa Pos yang menghubunginya pekan lalu.
Tidak hanya melihat apa yang dilakukan owa-owa setiap berkunjung, Chanee akhirnya ikut membantu kebun binatang itu untuk merawat si owa dan memberinya pasangan agar bisa berkembang biak. Betapa sayangnya kepada owa-owa, pada usia 16 tahun, Chanee sudah bisa membuat buku yang bercerita tentang kehidupan owa-owa di kebun binatang itu. Judulnya Le Gibbon " Mains Blanches.
Buku tersebut menarik perhatian media di Prancis karena jarang ada remaja yang peduli terhadap kehidupan satwa langka. Sampai-sampai, aktris papan atas Prancis, Muriel Robin, terharu dan bersedia membiayai Chanee untuk pergi ke Thailand guna melihat dari dekat kehidupan owa-owa di habitatnya.
Pada usia 18 tahun, Chanee mulai menggeluti kehidupan owa-owa liar di hutan Thailand. Namun, dia belum tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu kehidupan kera-kera tersebut. Dia baru mendapatkan inspirasi ketika membaca berita tentang terbakarnya hutan Kalimantan.
"Saat itu saya berpikir, jika ingin menolong owa-owa, saya harus pergi ke Indonesia. Sebab, di Indonesia paling banyak jenis owa dan banyak persoalannya," ungkapnya.
Pada 1998, Chanee terbang ke Indonesia. Gelombang demo reformasi yang meledak di Jakarta membuat dirinya langsung menuju ke Kalimantan untuk melakukan observasi. Baru tiga bulan kemudian Chanee kembali ke Jakarta untuk menjalin kerja sama dengan Kementerian Kehutanan dan Kelautan (saat itu bernama Departemen Kehutanan) untuk melindungi owa-owa.
Suasana Indonesia yang sedang ricuh menyusul tumbangnya rezim Orde Baru ditambah pemahaman yang kurang akan budaya Indonesia membuat Chanee sulit mendapat kepercayaan dari pemerintah RI. Namun, tanpa kenal menyerah, dia terus berjuang untuk mendapatkan izin penggunaan hutan sebagai kawasan konservasi owa-owa.
"Setahun saya bolak-balik ke kantor kementerian untuk mendapatkan izin itu. Syukurlah, akhirnya saya dapatkan juga," cerita dia.
Menurut Chanee, persoalan di hutan Kalimantan awalnya terkait dengan penebangan liar kayu-kayu berharga jual tinggi. Tapi, kemudian ditambah pembukaan lahan-lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit yang menggiurkan pemilik modal. Habitat hewan-hewan di hutan pun tergusur, termasuk owa-owa.
"Setelah reformasi, kawasan konservasi satwa yang pada zaman Soeharto tidak disentuh menjadi persoalan. Tidak ada kawasan konservasi yang aman. Bahkan, kawasan di luar hutan konservasi mulai dihancurkan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Nasib owa dan binatang lainnya tidak mempunyai masa depan," ungkapnya.
Meski begitu, Chanee tidak putus asa. Dia bersama para aktivis Kalaweit, organisasi perlindungan binatang yang didirikannya, terus berjuang agar habitat owa-owa tidak rusak. Dia pun menjalin kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk tiga hal.
Pertama, menerima semua binatang yang ditangkap karena binatang itu termasuk hewan dilindungi yang disita pemerintah atau diserahkan secara sukarela. Kedua, membantu pemerintah mengamankan beberapa kawasan hutan dari para penjarah. Ketiga, berkampanye kepada masyarakat melalui media tentang pentingnya perlindungan satwa.
Untuk mencapai misi ketiga itu, Chanee kemudian mendirikan stasiun radio lokal yang diberi nama Radio Kalaweit. Dengan konsep anak muda, dia menggandeng generasi muda Kalimantan untuk ikut menyelamatkan hutan dan satwa liar di tanah kelahiran mereka.
"Saya juga tengah menjalin kerja sama dengan Metro TV untuk pembuatan program penyelamatan satwa langka," ujar bapak dua anak dari istri yang asli Kalimantan itu.
Perhatian Chanee terhadap pelestarian satwa liar dan habitatnya sangat besar. Dia rela tinggal di tengah hutan Kalimantan dan bolak-balik Kalimantan-Sumatera untuk melihat langsung binatang-binatang yang ditangani Kalaweit. Selain itu, dia rela membeli 135 hektare hutan di Kalimantan untuk dihibahkan kepada Kalaweit. Sebab, di Indonesia, yayasan tidak diizinkan memiliki lahan sendiri.
"Saya bersyukur masih ada masyarakat yang peduli sehingga 100 persen pendanaan Kalaweit berasal dari mereka. Saat ini masih dari luar negeri. Semoga secepatnya dari masyarakat Indonesia sendiri," tuturnya.
Tentu saja banyak yang menentang perjuangan Chanee itu. Dia pernah diteror lewat ponsel, ditodong pisau, dan rumah kapalnya ditenggelamkan oleh orang-orang yang tidak dikenal. Namun, Chanee tetap tidak peduli dan merasa itu semua sudah menjadi risiko perjuangan.
Kecintaannya kepada satwa Indonesia membuat Chanee jatuh cinta kepada negara ini. Dia berusaha keras mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia agar bisa memiliki hak untuk menyuarakan penyelamatan hutan.
Meski telah menikah dengan perempuan asli Kalimantan bernama Nurpradawati pada 2002, dia masih belum bisa mendapatkan status kewarganegaraan yang diinginkan itu. Baru setelah tampil dalam acara KickAndy beberapa tahun lalu, Chanee mendapat kemudahan informasi untuk menjadi WNI.
"Saya sempat melontarkan candaan saat itu. Saya bilang, sepertinya harus menjadi pemain bola dulu jika ingin menjadi warga negara Indonesia. Tapi, setelah itu, saya dibantu beberapa orang untuk bisa mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia yang saya inginkan," ujarnya lantas tertawa.
Sudah 15 tahun Kalaweit beraktivitas. Bukan hanya owa-owa yang diurusi. Satwa-satwa liar lain yang diserahkan pemerintah maupun masyarakat kini menjadi concern mereka. Chanee dan aktivis Kalaweit melakukan itu karena tidak ada organisasi-organisasi perlindungan satwa"lain yang mau menerima binatang selain orang utan.
"Yayasan saya menerima semua binatang. Bukan hanya orang utan. Ada beruang, ular, buaya, dan sebagainya," tegasnya. (*/c5/ari)