Teri PDIP: Gugatan ke Menkum HAM Yasonna Tidak Beralasan
jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan pelepasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi yang dilakukan Menkum HAM Yasonna Laoly digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan yakin bahwa gugatan itu pasti akan ditolak pengadilan.
“Ya kita hormati saja, tetapi saya yakin kok gugatannya pasti ditolak karena dari sejak awal tidak beralasan menurut hukum," kata Arteria, Senin (27/4).
Politikus PDI Perjuangan yang karib disapa Teri itu menilai kebijakan yang diambil Yasonna sudah tepat, cermat dan melalui pertimbangan yang matang. Bahkan, ujar Teri, sempat pula dibicarakan dan disetujui oleh DPR dalam rapat kerja Komisi III sebelum kebijakan tersebut diambil.
Menurutnya, tidak benar kalau ada yang mengatakan sejak awal kebijakan tersebut diambil tanpa melalui pertimbangan yang matang dan cenderung transaksional.
“Saya malah menanyakan dan minta kepada yang mengatakan untuk membuktikannya," ungkap Teri.
Ia menjelaskan bahwa ini merupakan kebijakan publik yang sudah disepakati bersama. Jadi, Teri mengingatkan, jangan sembarang bicara apalagi menggiring opini publik seolah mengesankan kebijakan tersebut diambil atas dasar transaksional.
"Itu fitnah besar," tegas legislator Dapil VI Jatim (Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten dan Kota Kediri) itu.
Teri pribadi berpendapat bahwa kebijakan tersebut diambil murni karena alasan kemanusiaan.
Menurut dia, semua menyadari bahwa negara in casu lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) tidak mampu memberikan dan menyiapkan sarana dan prasarana kedaruratan kesehatan yang memadai, khususnya di dalam menerapkan protokol kesehatan yang disyaratkan.
“Jadi pahami tanpa berprasangka mengapa kebijakan tersebut diambil, besar mana manfaat dan mudaratnya, pahami juga kondisi lapas dan karakteristik warga binaan," jelasnya.
Ia menuturkan sangat tidak mungkin untuk dilakukan social distancing atau physical distancing dalam kondisi over capacity di hampir sebagian besar lapas dan rutan.
Menurut Teri, seandainya ada yang terpapar, maka dengan begitu mudahnya menularkan kepada warga binaan lainnya. Kalau itu terjadi, kata dia, maka menkum HAM dan kepala lapas lagi yang disalahkan atau mungkin saja akan men-trigger kerusuhan dalam lapas.
"Makanya bijaklah, pahami keadaan negerimu dan rakyatmu. Jangan bicara yang ideal di saat kebijakan diambil tidak dalam keadaan ideal. Apalagi kalau dilihat dari 37.000 yang mendapat asimilasi, kan hanya sebagian kecil yang mengulangi tindak pidana," katanya.
Namun demikian ia mengaku menghormati dan menghargai upaya hukum yang dilakukan sejumlah aktivis yang menggugat kebijakan pelepasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi kepada para napi yang dilakukan Menkum HAM Yasonna ke Pengadilan Negeri Surakarta, dikarenakan mereka menimbulkan keresahan dan melakukan tindak pidana di tengah-tengah masyarakat.
"Itu kan hak mereka, dan kanalnya tepat, namun kita juga harus menghormati proses peradilan yang akan berlangsung dan tidak perlu mengumbar polemik di ruang publik," pungkas Teri.
Seperti diketahui Yayasan Mega Bintang Indonesa Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia menggugat kebijakan pembebasan napi lewat program asimilasi dan integrasi. Selaku tergugat ialah kepala Rutan Surakarta, kepala Kanwil Kemenkumham Jateng, dan Menkumham.
Ketua Umum Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997 Boyamin Saiman mengatakan bahwa gugatan itu sudah didaftarkan di PN Surakarta, Kamis (23/4).
“Telah dilakukan gugatan perdata terkait kontroversi kebijakan pelepasan napi (asimilasi oleh Menkumham) di mana para napi yang telah dilepas sebagian melakukan kejahatan lagi dan menimbulkan keresahan pada saat pandemi corona,” kata Boyamin, Minggu (26/4).
Ia mengatakan untuk mengembalikan rasa aman maka pihaknya menggugat Menkumham Yasonna agar menarik kembali napi asimilasi dan dilakukan seleksi serta psikotes secara ketat bila hendak melakukan kebijakan tersebut.
Boyamin menjelaskan napi asimilasi yang dilepas harus memenuhi syarat, yakni berkelakuan baik berdasar tidak ada catatan pernah melanggar selama dalam lapas (register F), dan membuat surat pernyataan tidak akan melakukan kejahatan lagi.
Menurut Boyamin, materi gugatan ini ialah para tergugat salah hanya menerapkan syarat tersebut secara sederhana, tanpa meneliti secara mendalam watak napi dengan psikotes sehingga hasilnya napi berbuat jahat lagi.
“Jadi, yang dipersalahkan adalah teledor, tidak hati-hati dan melanggar prinsip pembinaan pada saat memutuskan napi mendapat asimilasi," ungkapnya.(boy/jpnn)