TGB di Ambang Dilema Antara Poltikus dan Ulama
Di tengah kondisi ulama sedang berada pada sejumlah perbedaan seperti saat ini, seyogyanya TGB tidak boleh bersikap seperti politikus murni yang kadang-kadang lompat sana lompat sini. TGB harus bisa berpolitik dengan cara yang berbeda dengan yang bukan Ulama, karena ucapan dan sikapnya adalah ilmu bagi orang lain. Sehingga politik tidak selalu identik dengan asal bisa berkuasa. Sebab politik merupakan usaha untuk mengelola dan menata sistem untuk mewujudkan kepentingan atau cita-cita bersama dari suatu bangsa.
Pernyataan TGB walaupun dianggap biasa, tetapi mampu menggugah selera publik. Sikap TGB tidak sekadar melahirkan perdebatan para tokoh-tokoh politik di negara ini, juga telah berhasil mengundang para ulama untuk angkat bicara. Seperti dilansir oleh sebuah media, misalnya sindiran yang datang dari barisan oposisi, yang pernah diuacapkan oleh kader partai Gerindra Fadli Zon bahwa, “kadar keimanan TGB dapat ditakar”. Juga pandangan yang berasal dari juru bicara PA 212 Habib Novel yang mengatakan dukungan TGB karena tersandera kasus KPK.
Ungkapan ini sekaligus pertanda bahwa TGB sudah tidak terlihat sebagai sosok yang independen, tetapi justru terlihat seperti tokoh yang mengincar kekuasaan dan berusaha barada pada titik aman dan melindungi diri. TGB layaknya seseorang yang sudah punya pacar tetapi tiba-tiba jatuh cinta lagi. Nah kondisi inilah yang membuat ia dilematis antara tetap bertahan dengan ulama atau bersama dengan Jokowi.
Indonesia ibarat kapal besar yang memiliki muatan yang tidak hanya emas dan minyak bumi, tetapi segala kebutuhan makhluk di muka bumi ini ada di dalamnya. Sudah pasti menjadi incaran bagi sejumlah elite untuk menahkodainya.
Hakikat politik yang berkiblat pada kepentingan rakyat atau berorientasi menjawab kepentingan dan kebaikan bersama (bonum commune), selalu menjadi tema utama orasi elite politik. Namun dalam praksis hidup politik, seringkali disalahgunakan sehingga tujuan politik menjadi tidak jelas.
Hal ini bisa dilihat dari perdebatan Kubu koalisi pendukung pemerintah dan koalisi oposisi, seperti halnya dengan skuad pandawa dan kurawa yang saling memerangi satu sama lain untuk merebut tahta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga kalimat kecil TGB pun terus digoreng hingga persoalan yang urgen di negara ini terlupakan.
Akibatnya politik tidak lagi dirancang untuk melahirkan kebaikan bersama, tetapi menjadi batu loncatan untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompok. Pada titik inilah, makna politik menjadi distorsi. Meningkatnya intensitas korupsi sejumlah elite politik dan absennya mereka berada di tengah rakyat pada musim reses, menunjukkan politik mudah dibelokkan untuk memenuhi naluri pragmatisme elit sekaligus menelantarkan kepentingan rakyat.
Aristoteles yang dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik. Aristoteles memandang politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia. Sama halnya dengan anggapan bagi sebagian orang bahwa sikap TGB adalah biasa dan bagi sekelompok lainya menganggap TGB telah mengkhianati umat.