Tidak Bayar Buku, Dana BOS Ditahan
JAKARTA - Benang kusut molornya pendistribusian buku kurikulum baru sedikit demi sedikit mulai terkuak. Ada dugaan sekolah menjalankan birokrasi yang rumit untuk mencairkan uangnya ke percetakan. Padahal, prosesnya seharusnya bisa sangat sederhana.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dirjen Dikdas) Kemendikbud Hamid Muhammad menuturkan, prosedur birokrasi pembayaran buku kurikulum baru sebenarnya sederhana.
"Dana BOS (bantuan operasional sekolah) dan dana tambahan khusus untuk beli buku sudah di sekolah. Itu segera dibayarkan sesuai dengan nominal pemesanannya," katanya di di kantor Kemendikbud, Jakarta, kemarin (25/8).
Kenyataannya, banyak sekolah, khususnya jenjang SD, harus berkoodinasi dulu dengan Unit Pelaksana Teknis Diknas Pendidikan (UPTD) yang ada di kecamatan-kecamatan. Skema itu terlalu ribet dan seharusnya tidak berlaku. Di Tangerang, Banten, ada UPTD yang menolak sekolah untuk membayarkan uang buku ke percetakan.
"Alasannya belum ada perjanjian atan UPTD dengan Kemendikbud. Ini tidak benar, tidak perlu perjanjian-perjanjian itu," tegasnya.
Pembelian buku kurikulum baru sejatinya sama dengan pembelian buku-buku pelajaran kurikulum yang lama. Hanya, buku kurikulum baru disediakan oleh pemerintah dengan harga jauh lebih murah. Selain itu, sekolah tidak bisa mendapatkan royalti percetakan.
Jika sekolah tidak membayar uang pemesanan buku, Kemendikbud menyiapkan sanksi administrasi. Yakni, menahan pencairan dana BOS triwulan keempat (Oktober-Januari). Dana itu selama ini dipegang oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov).
"Mendikbud sudah membuat surat bagi pemprov seluruh Indonesia," katanya. Intinya, pemprov harus menunda pencairan dana BOS kepada sekolah yang masih belum melunasi pembayaran tagihan buku ke percetakan.
Jika tagihan itu dibayar tepat waktu, percetakan memiliki modal untuk mencetak buku tahap berikutnya. Aktivitas pencetakan buku di percetakan banyak yang tersendat gara-gara arus uang macet di sekolah. Hamid menuding ada permainan industri perbukuan terkait keterlambatan pengiriman buku-buku itu ke sekolah. "Saya heran, bukunya lebih cepat beredar di toko buku ketimbang di sekolah," tandasnya.
Padahal, peredaran buku di sekolah sudah terjamin ada uangnya. Sedangkan peredaran buku di toko buku komersil belum tentu ada yang membeli. Dia menduga ada motivasi bisnis di balik praktek tersebut.
Mantan Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbud itu mengungkapkan, semua buku terkait kurikulum baru yang beredar di pasaran tidak layak dipelajari siswa. Sebab, buku-buku itu belum melewati peninjauan di Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atau Kemendikbud. Bisa dikatakan buku-buku tersebut ilegal. (wan/ca)