Titik Temu Lahir dari Pengalaman Menikmati Kota Tua
”Fungsi yang pertama beranda bisa digunakan sebagai toko atau warung bagi pemilik rumah, hal ini mengadopsi kebudayaan orang Tionghoa yang memfungsikan teras sebagai toko di rumahnya. Yang kedua beranda bisa digunakan sebagai teras publik seperti pada rumah kebaya atau rumah adat Betawi dimana teras menjadi ruang tamu publik yang bisa diakses siapa saja tamu yang singgah,” imbuh Rizky Rahmadanti.
Lebih lanjut Rizky menjelaskan, saat dinding dibuka, fungsinya pun bertambah menjadi tempat duduk yang bisa diduduki pejalan saat melintasinya. Namunm saat pemilik menginginkan ruang pribadi, beranda bisa ditutup dan berubah fungsinya menjadi ruang dalam yang private untuk pemilik rumah.
“Keberadaan beranda yang terbuka dimaksudkan agar tamu bisa meningkatkan interaksi dengan pemilik maupun masyarakat sekitar. Namun tamu juga bisa dimanjakan dengan susasana ruang tidur yang seperti berada di dalam Menara, sehingga suasana kolonial dan Kota Tua masih tetap dapat dirasakan walaupun sudah di dalam kamar tidur,” katanya.
Selanjutnya, imbuh Rizky, isu mengenai ruang terbuka hijau juga penting di kota padat seperti Jakarta. Ruang terbuka hijau menjadi sangat terbatas didesak oleh kebutuhan runag yang banyak di atas lahan yang sempit.
Namun Rizky bersama timnya juga terus berusaha menyelesaikan masalah itu dengan menempatkan taman di tengah rumah sehingga menambah resapan air dan juga sebagai sirkulasi udara dan cahaya yang baik seperti pada Rumah Tionghoa dan kolonial Belanda. Lagi-lagi mereka berusaha menyuntikkan program ruang yang sudah diterapkan pada rumah-rumah berbagai macam budaya tersebut.
“Dengan memerhatikan konteksnya, rumah beranda dengan konsep titik temu dan multikultural diharapkan mampu menjadi bangunan yang mempunyai nilai ekonomi, meningkatkan interaksi sosial dan kebutuhan pejalan kaki akan tempat singgah selama menyusuri Kota Tua, juga memenuhi kebutuhan rumah tinggal yang nyaman bagi tamu atau wisatawan,” katanya.(adv/jpnn)