Tok Tok Tok, MK Putuskan Perempuan Bisa Jadi Gubernur DIY
jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Putusan MK atas UU Keistimewaaan DIY memungkinkan kalangan perempuan bisa menjadi gubernur di provinsi yang kini dipimpin Sri Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh itu.
Ketentuan dalam UU Keistimewaan DIY yang dibatalkan MK adalah Pasal Pasal 18 ayat (1) huruf m yang mengatur syarat calon gubernur dan calon wakil gubernur DIY harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak. Pemohon uji materi itu ada 11 tokoh termasuk Prof. Dr. Saparinah Sadli.
MK berpendapat bahwa tidak ada argumentasi yang bisa diterima secara konstitusional untuk membenarkan pembatasan sebagaimana ketentuan Pasal Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY. “Pembatasan terhadap pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY, termasuk perempuan, sebagai calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur DIY tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan maksud atau tujuan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain,” ujar hakim MK saat membacakan pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan.
Menurut MK, pembatasan itu juga tidak didasari oleh maksud untuk memenuhi tuntutan yang adil yang didasarkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, maupun ke tertiban umum dalam masyarakat demokratis. “Sebaliknya, justru untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat Indonesia yang demokratis pembatasan demikian tidak boleh terjadi," sambung hakim MK.
Karena itu, MK menganggap permohonan untuk membatalkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY sangat beralasan. "Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat mengucapkan putusan uji materi atas UU Keistimewaan DIY di gedung MK, Jakarta, Kamis (31/8).
Pencantuman kata ‘istri’ dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY menjadi polemik karena hal itu sama saja membatasi gubernur dan wakil gubernur DIY hanya dari kalangan pria. Karena itu, MK menganggap pembatasan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
“Menyatakan frasa 'yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak' dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjut Arief.
Keputusan MK itu merupakan hasil rapat permusyawaratan hakim konstitusi yang digelar pada 16 Mei 2017. Namun, dari sembilan hakim MK, ada satu yang tak menyampaikan pendapatnya. “Satu orang hakim konstitusi Saldi Isra tidak memberikan pendapatnya,” sebut Arief.(cr2/jpc/ara/jpnn)