Wartawan Nyentrik dan Berkaliber itu Bernama...
jpnn.com - Kata benda bersifat lelaki dan perempuan, seperti pemuda-pemudi, putra-putri ternyata diperkenalkan oleh seorang wartawan yang nyentrik.
WENRI WANHAR – JAWA POS NATIONAL NETWORK
Namanya Soedarjo Tjokrosisworo. Darinya berhulu cerita tentang seorang redaktur suratkabar yang tidak bisa menulis kalau belum minum ciyu—minuman beralkohol sebangsa Arak.
Kisah ini hidup di kalangan wartawan angkatan 45.
“Darmo Kondo di Solo pernah dipimpin oleh seorang redaktur yang aneh, yang tidak bisa menulis karangan tanpa minum ciyu cumbon (jenewer Jawa) lebih dulu,” tulis Rosihan Anwar, termuat dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi RI.
Soedarjo, menurut cerita Rosihan: "Wartawan ini banyak memperkenalkan istilah baru dalam bahasa Indonesia. Seperti akhiran “a” dan “i” bagi kata benda bersifat laki-laki (masculine) dan perempuan (feminine) seperti: pemuda-pemudi."
Meski usia bertaut jauh, Rosihan Anwar dan Soedarjo berkawan. Mereka sama-sama mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pada 9 Februari 1946. Kemarin, ulang tahun organisasi ini baru saja dirayakan di Surabaya.
Soedarjo Tjokrosisworo lahir di Solo, 21 April 1902. Mengintip situs kominfo.go.id, namanya ditabalkan masuk 10 Perintis Pers Indonesia.
Memulai karir jurnalistik di suratkabar Darmo Kondo pada 1922. Mulanya bekerja sebagai wartawan magang, dan dua tahun kemudian dipercaya menjalankan tugas sebagai redaktur.
Pun demikian, baru 1926 namanya tertera dalam susunan redaksi Darmo Kondo sebagai redaktur harian.
Sejumlah literatur sejarah pers Indonesia mencatat Darmo Kondo surat kabar terkenal di Jawa, yang dibeli Boedi Oetomo cabang Surakarta pada 1910. Versi lain menyebut 1915.
Sebelumnya, suratkabar ini diterbitkan oleh Tan Tjoe Kwan.
Berdasarkan arsip, ketika Soedarjo di Darmo Kondo, koran ini diterbitkan atas nama NV. Javannsche Drukkery & Boekhandel Boedi Oetomo.
Pada 1928, pria yang suka musik keroncong dan nonton opera stambul ini hijrah ke Jakarta. Dan bekerja di Adil Polomarto, majalah bulanan berbahasa Jawa yang juga terbitan Boedi Oetomo.
Kemudian pindah jadi wartawan dari satu media ke media lain. Pergaulannya di kalangan para juru warta pun meluas.
Pada 1933, bersama kawan-kawannya, wartawan nyentrik yang menurut Rosihan Anwar, gemar memakai bedak pupur ini mendirikan Perstoean Djoernalis Indonesia. Disingkat PERDI (lihat foto).
Di alam Indonesia merdeka, Soedarjo “merintis ide diadakan Museum Pers di Indonesia,” tulis situs kominfo.go.id.
Gagasan tersebut terlaksana pada 22 Mei 1956.
Berdasarkan informasi yang didulang dari Museum Pers Nasional di Jl. Gajah Mada 59 Surakarta, tempo hari, modal pertama koleksi museum tersebut adalah buku, koran, majalah milik Soedarjo Tjokrosisworo.
Tak salah bila Rosihan menyebut Soedarjo sebagai nestor jurnalis Indonesia. Pria yang semasa mudanya pernah jadi opsir Legiun Mangkunegaran inilah yang babad alas menulis buku Sejarah Pers Sebangsa, buku stensilan yang boleh dibilang pelopor literasi sejarah pers di Indonesia. (wow/jpnn)