YLKI Beberkan Alasan Maraknya Klaim Obat COVID-19
Lebih lanjut, kata Tulus, aspek psikologi konsumen mempengaruhi banyaknya klaim atas obat untuk COVID-19. Konsumen mengalami tekanan psikologis yang sangat kuat selama pandemi.
Konsumen takut terinfeksi COVID-19. Terlebih lagi, kata Tulus, belum ada obat atau vaksin untuk COVID-19. Dari situ, masyarakat mencari jalan keluar sendiri-sendiri.
"Secara undang-undang memang boleh melakukan pengobatan secara mandiri, tetapi kalau produk itu dikomersialisasi dan iklan, itu jadi persoalan," beber Tulus.
Setelah itu literasi konsumen yang lemah turut menyumbang maraknya klaim obat menyembuhkan COVID-19. Bahkan, klaim itu marak di media sosial yang dipromosikan oleh publik figur.
"Kebetulan COVID-19 menjadi perhatian bersama, klaim-klaim yang serupa muncul marak," beber Tulus.
Kemudian Tulus menyinggung lemahnya penegakan hukum, sehingga klaim obat yang mampu menyembuhkan COVID-19 menjadi marak.
Misalnya saja, kata dia, sedikit sekali penegakan hukum kepada publik figur yang mengampanyekan obat COVID-19 yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Jadi masalah masuk ranah hukum divonis secara ringan. Terkait dengan obat, sampai proses hukum hasilnya tidak maksimal karena vonisnya ringan. Akibatnya kasus tersebut dapat diulang," ungkap dia.