Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Yusril Sambut Baik Perpu, Sebut Majelis Kode Etik Tidak Benar

Senin, 07 Oktober 2013 – 08:44 WIB
Yusril Sambut Baik Perpu, Sebut Majelis Kode Etik Tidak Benar - JPNN.COM

JAKARTA - Mantan menteri hukum dan hak asasi manusia Yusril Ihza Mahendra menilai, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) mengenai Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan langkah yang tepat untuk atasi krisis dilembaga yang pernah dipimpin oleh Mahfud MD itu.
 
“Saya pikir langkah Presiden SBY untuk mengeluarkan perpu sudah tepat. Hal ini demi mengatasi atasi krisis yang melanda MK. Saya pribadi menyambut baik langkah kepala negara untuk segera bertindak menangani persoalan ini,” ujar Yusril kepada INDOPOS (Grup JPNN) di Jakarta, Minggu, (6/10).
 
Menurut Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) ini, mustahil sebuah lembaga negara tak memiliki badan pengawas. Karena itu dirinya mengusulkan agar Komisi Yudisial (KY) kembali diberi wewenang mengawasi hakim MK seperti telah diatur undang-undang. Meskipun kemudian dibatalkan oleh MK.
 
“MK memang berwenang menguji undang-undang apa saja. Termasuk menguji UU yang mengatur dirinya. Namun, MK harus menahan diri dan menjunjung tinggi etika agar tidak menguji undang-undang yang berkaitan dengan MK sendiri. Tindakan seperti itu tidak etis,” paparnya.
 
Yusril juga menilai pembentukan Majelis Kode Etik MK tidaklah tepat. Logikanya masa ada hakim MK duduk di Majelis Kode Etik. Dengan demikian ada hakim MK yang akan memeriksa sesama hakim MK yang diduga melanggar kode etik. “Ini tidak benar. KY yang seharusnya mengawasi hakim MK. KY harus kembali diberi wewenang merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden dan Mahkamah Agung (MA) untuk menarik hakim MK yang melanggar kode etik,” jelasnya.
 
Karena, lanjut dia, hakim yang melanggar etik harus diberhentikan. Bahkan, kalau ada unsur pidana, tetap saja hakim MK tersebut harus diadili. “Karena itu hal-hal seperti ini harus dimasukkan ke dalam Perpu yang dibuat oleh Presiden SBY. Jadi kalau nanti Perpu sudah disahkan DPR menjadi UU, MK jangan lagi menguji UU yang mengatur dirinya tersebut,” terangnya.
 
Sebab, kasus tertangkapnya Ketua MK adalah kejadian luar biasa yang mendorong presiden untuk bertindak cepat memulihkan kepercayaan rakyat kepada MK. Kalau presiden ajukan RUU, tentunya akan sangat memakan waktu. “Karena itu ada kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar bagi presiden mengeluarkan Perpu,” ujarnya.
 
Yusril  berpandangan, para pakar hukum tata negara (HTN) dan rakyat akan menilai kalau UU tersebut diuji dan dibatalkan MK, berarti MK memang ngeyeldan mau mendudukkan dirinya sebagai lembaga paling superior. “Sebagai orang yang dulu mewakili presiden membawa RUU MK ke DPR buat pertama kali tahun 2002, saya wajib meningatkan MK agar jangan ngeyel,” tegasnya.
 
Perpu juga, Kata Yusril, hendaknya mengatur pencabutan kewenangan MK untuk mengadili perkara pilkada, dengan masa transisi tertentu. Pemeriksaan perkara pilkada harus dikembalikan lagi ke Pengadilan Tinggi (PT) sesuai yurisdiksinya, tapi ada kasasi ke MA.

“PT dan MA diberi batas waktu maksimum untuk menyelesaikan pemeriksaan perkara Pilkada agar tidak berlarut-larut. MK cukup mengadili sengketa Pemilu yang bersifat nasional, yakni pemilu DPR, DPD dan pemilu presiden,”terangnya.
 
Dengan demikian MK tidak sibuk mengadili perkara pilkada yang tidak perlu dan buang-buang waktu serta memakan biaya besar bagi pencari keadilan. Karena pemeriksaan perkara pilkada terbukti rawan suap bagi MK. “Kasus penangkapan Akil menjadi contoh nyata. Yang menjadikan citra MK jatuh di tempat paling rendah,” pungkasnya. (dms)

JAKARTA - Mantan menteri hukum dan hak asasi manusia Yusril Ihza Mahendra menilai, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengeluarkan

Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA