jpnn.com, YANGON - Hampir setahun setelah putranya dibawa oleh tentara junta Myanmar, Win Hlaing (66 tahun) mengatakan dirinya hanya ingin tahu apakah anaknya masih hidup.
Suatu malam pada April lalu, seorang tetangganya meneleponnya untuk memberi tahu bahwa anaknya, Wai Soe Hlaing, seorang ayah muda yang membuka toko ponsel di Yangon, telah ditahan.
BACA JUGA: PM Kamboja Laporkan Hasil Kunjungan, Pak Jokowi Kembali Bicara Tegas soal Myanmar
Dia ditangkap karena dianggap terlibat dalam aksi-aksi protes yang menentang kudeta militer 1 Februari.
Mereka menelusuri keberadaan pria berusia 31 tahun itu di kantor polisi setempat, menurut Win Hlaing dan Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik (AAPP), organisasi nirlaba yang telah mendokumentasikan penangkapan dan pembunuhan.
BACA JUGA: Usai Telepon Presiden Jokowi, PM Kamboja Ubah Sikap soal Myanmar
Kemudian jejaknya semakin kabur. Dia telah menghilang.
Reuters menelepon kantor polisi itu namun tak bisa memastikan keberadaan Wai Soe Hlaing, atau kerabat yang hilang dari dua orang lain yang diwawancarai untuk penulisan artikel ini.
BACA JUGA: Kamboja Rusak Upaya Indonesia, Myanmar Makin Jemawa
Seorang juru bicara junta tidak menanggapi permintaan via email dan tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentarnya.
Wai Soe Hlaing adalah satu di antara banyak orang yang menurut para aktivis dan kerabat telah menghilang sejak Myanmar jatuh ke dalam kekacauan setelah militer menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
AAPP memperkirakan lebih dari 8.000 orang ditahan di penjara-penjara dan pusat-pusat interogasi, termasuk Suu Kyi dan sebagian besar anggota kabinetnya, sementara sekitar 1.500 orang telah terbunuh. Reuters tidak dapat memverifikasi data AAPP secara independen.
Mereka mengatakan ratusan orang telah tewas dalam tahanan. Junta mengatakan angka itu dilebih-lebihkan dan AAPP menyebarkan informasi palsu. Junta belum pernah mengungkap jumlah orang yang ditahan.
Mencari Keberadaan Orang-Orang Tercinta
Militer tidak memberi tahu keluarga ketika seseorang ditangkap dan petugas penjara sering tidak melakukannya ketika orang-orang yang ditangkap tiba di penjara.
Kondisi itu membuat keluarga terpaksa mencari sendiri keberadaan mereka dengan menelepon dan mendatangi kantor-kantor polisi dan penjara, atau mengandalkan informasi dari liputan media atau kelompok pembela hak asasi manusia.
Kadang-kadang mereka mengirim paket makanan dan menganggapnya sebagai tanda keberadaan kerabat mereka jika paket itu diterima, menurut laporan Human Rights Watch.
Dalam banyak kasus, seorang pendiri AAPP Bo Kyi mengatakan, organisasinya berhasil memastikan bahwa seseorang telah ditahan tapi tidak tahu di mana.
Tae-Ung Baik, ketua kelompok kerja penghilangan paksa di PBB, mengatakan kepada Reuters kelompoknya telah menerima laporan dari keluarga-keluarga di Myanmar tentang penghilangan paksa sejak Februari lalu dan "sangat khawatir" dengan situasinya.
Di sebuah kota perbatasan, aktivis berusia 43 tahun Aung Nay Myo, yang mengungsi dari wilayah Sagaing di barat daya, mengatakan tentara junta membawa kedua orang tua dan saudara-saudaranya dari rumah mereka pada pertengahan Desember dan dia tidak tahu keberadaan mereka sekarang.
Dia yakin mereka ditahan karena karya-karyanya sebagai penulis satir. Di antara mereka adalah ayahnya, 74 tahun, yang lumpuh karena strok.
"Tak ada yang bisa saya lakukan, tapi saya khawatir setiap saat," kata Aung Nay Myo.
Dua kantor polisi di kota Monywa, tempat asal mereka di Sagaing, tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentarnya.
Di sejumlah wilayah, resistensi terhadap junta telah berkembang menjadi konflik, dan pertempuran telah membuat puluhan ribu orang terusir dari tempat tinggal mereka di seluruh negeri, menurut PBB. Ribuan di antara mereka telah melarikan diri dengan melintasi perbatasan ke Thailand dan India.
Di negara bagian Kayah, di mana pertempuran telah memanas, Banyar Khun Naung, direktur kelompok nirlaba Karenni Human Rights Group, mengatakan sedikitnya 50 orang telah hilang.
Kelompok itu berusaha membantu keluarga mencari kerabat mereka dengan menanyakan orang-orang yang baru saja dibebaskan tentang nama-nama yang mereka ingat selama di penjara.
"Keluarga orang-orang yang hilang sangat menderita, khususnya mental, karena tidak mengetahui di mana orang-orang yang mereka cintai adalah hal yang melelahkan," kata dia.
Myint Aung, yang berusia di atas 50 dan kini tinggal di sebuah kamp bagi pengungsi di Kayah, mengatakan putranya Pascalal yang berusia 17 tahun hilang pada September.
Remaja itu mengatakan kepada ayahnya akan mengunjungi rumah mereka di Loikaw, ibu kota negara bagian itu, untuk melihat-lihat situasi, namun dia kemudian tak pernah kembali, kata Myint Aung.
Ternyata, menurut penduduk desa setempat, dia ditahan oleh pasukan keamanan, kata Myint Aung kepada Reuters lewat telepon. Ketika dia mendatangi kantor polisi untuk membawakan makanan, dia melihat tentara menjaga kawasan itu dan dia melarikan diri.
Sejak itu, Myint Aung tak pernah lagi mendengar kabar anaknya, namun kelompok HAM memberi tahu bahwa anaknya tak lagi ditahan di kantor polisi berdasarkan pembicaraan dengan sejumlah orang yang baru saja dibebaskan. Reuters tak dapat memverifikasi informasi ini secara independen.
Banyar Khun Naung, direktur kelompok HAM Karenni, mengatakan remaja itu adalah salah satu dari dua anak muda dalam gambar viral di media sosial.
Dalam gambar itu mereka terlihat melakukan salut "Hunger Games" yang diadopsi oleh para pemrotes ketika mereka ditangkap di sisi sebuah jalan, diikat bersama dengan seutas tali oleh seorang tentara. Saudara perempuannya memastikan lewat telepon bahwa dia adalah Pascalal.
Foto itu tampak dalam sebuah unggahan viral dari sebuah akun yang sepertinya milik perwira militer, dengan keterangan,"Sementara kami membiarkan mereka melakukan yang mereka inginkan sebelum kami menembakkan peluru ke kepala mereka".
Akun tersebut kemudian dihapus dan Reuters tidak bisa mengontak pemiliknya untuk meminta komentar.
"Dia hanya bocah laki-laki sipil di bawah umur dan dia tidak melakukan kesalahan apa pun," kata ayahnya.
Polisi di Loikaw tidak menjawab panggilan telepon dari Reuters yang meminta komentar.
Di Yangon, keluarga Wai Soe Hlaing mengatakan kepada putrinya yang berusia empat tahun bahwa ayahnya sedang bekerja di tempat jauh. Kadang-kadang, kata Win Hlaing, anak itu berbisik kepadanya: "Papaku sudah pergi terlalu lama." (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil