10 Alasan Penolakan Kemen PU Digabung Kemenpera

Sabtu, 25 Oktober 2014 – 21:15 WIB
10 Alasan Penolakan Kemen PU Digabung Kemenpera. JPNN.com

jpnn.com - Salah satu nomenklatur baru dari susunan kementerian negara dalam rencana kabinet Jokowi-JK adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU dan Pera). Kementerian ini berasal penggabungan Kemen-PU dan Kemenpera sebelumnya.

Tampaknya rencana pembentukan kementerian gabungan ini baru didasarkan pada amatan sekilas saja. Sedangkan karakter khas dari urusan perumahan rakyat dan perjalanan sejarah Kementerian Perumahan Rakyat yang panjang belum dijadikan pertimbangan yang memadai.

BACA JUGA: Tak Layak Memilih Menteri yang Punya Tunggakan

Setelah melalui kajian atas sifat-sifat urusan, kajian sejarah dan visi misi perumahan rakyat, maka bisa disimpulkan bahwa sebaiknya urusan perumahan rakyat tidak digabung ke dalam Kementerian Pekerjaan Umum. Artinya urusan Perumahan Rakyat memang membutuhkan sebuah kementerian tersendiri.

Setidaknya ada 10 alasan perlunya Kementerian Perumahan Rakyat yang berdiri sendiri. Pertama, pemenuhan rumah yang layak adalah hak dasar bagi seluruh rakyat yang telah diamanatkan UUD 1945 pasal 28H dan juga dikuatkan oleh Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 40, yang pada dasarnya mengacu pada Declration of Huma Rights yang telah diratifikasi hampir seluruh negara di dunia.

BACA JUGA: Politikus Golkar Usulkan Calon Menteri Dites Narkoba

Atas dasar itu maka negara RI perlu menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh untuk memenuhi hak dasar ini melalui Kementerian tersendiri yang memiliki kewenangan yang memadai dan semakin diperkuat untuk mencapai target-target rumah layak bagi seluruh rakyat. Jika tidak, maka dunia bisa menilai RI tidak cukup serius dalam upaya pemenuhan hak-hak perumahan bagi seluruh rakyat dan mencapai target MDGs mengurangi permukiman kumuh.

Kedua, kondisi darurat perumahan rakyat di Indonesia sudah tidak tertanggulangi lagi ketika angka kekurangan rumah terus bertambah setiap tahun hingga kini sudah mencapai sekitar 15 juta unit.

BACA JUGA: Mensesneg dan Kepala Bappenas Sudah Aktif Duluan

Ketiga, sejarah perumahan rakyat dimulai sejak Kongres Rumah Rakyat tahun 1950 ketika Bung Hatta mencanangkan tercapainya rumah layak untuk seluruh rakyat setengah abad yad. Demikian pula di era pemerintahan Soeharto, dimana setelah menyimak Kongres Habitat tahun 1976 di Vancouver maka pada 1978 Pak Harto membentuk Kantor Menteri Muda Perumahan Rakyat untuk memperkuat program papan di dalam negeri. Di dalam perjalanan Orde Baru, semua Menpera adalah Sekretaris Dewan Pembina Golkar, mulai dari Cosmas B, Siswono Y, Akbar T dan Theo S. Sedangkan Ketua Dewan Pembina Golkar adalah Presiden Soeharto sendiri.

Perjalanan sejarah ini menunjukkan betapa pentingnya urusan perumahan rakyat untuk diurus melalui kementerian tersendiri yang dipimpin oleh seorang Menteri yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Presiden Soeharto pada masa itu sudah memahami urusan perumahan rakyat tidak bisa sebatas diurus pejabat setingkat dirjen, dan sejarah telah membuktikan banyaknya keberhasilan di bidang ini pada masa itu. Namun sejarah pula yang membuktikan kemunduran penanganan bidang ini di era reformasi hingga kini.

Keempat, karakter urusan perumahan rakyat memang berbeda dengan pekerjaan umum sehingga sebaiknya tidak disatukan. Ini bukan persoalan efisiensi, tapi memang kedua urusan ini berbeda. Jika digabung dengan Kemen-PU seperti bangun jalan, waduk, jembatan, pengolahan limbah, dsb, maka urusan perumahan rakyat akan aneh sendiri.

Ini karena pekerjaan-pekerjaan PU bersifat proyek-proyek enjinering, sangat jelas paket proyeknya, kandungan teknisnya tinggi, manajemen proyeknya rumit dan nilai anggarannya besar. Sedangkan perumahan rakyat lebih banyak urusan dimensi sosial-ekonominya dan komunikasi dengan para-pihak dan melibatkan multi-pihak pemangku kepentingan.

Dimensi-dimensi vital perumahan rakyat ini akan terancam terabaikan dalam iklim pekerjaan teknis ke-PU-an. Perbedaan mendasar ini membutuhkan penanganan yang berbeda, mulai dari paket proyek yang berbeda hingga pola komunikasi yang berbeda pula.

Kelima, perumahan rakyat itu bersifat multi-dimensi menyangkut urusan tanah, prasarana dasar, pembiayaan, perijinan di daerah, teknologi bangunan, pemberdayaan masyarakat, pengenalan arsitektur lokal, dan sebagainya. Sejak dahulu Menpera selalu berkoordinasi dengan Mendagri, Menteri-PU, BPN dan Menkeu untuk suksesnya pencapaian target-target program. Kini di era pembagian kewenangan dan desentralisasi, Menpera juga perlu berkoordinasi dengan BI dan Pemerintah Daerah di berbagai tingkatan.

Semua urusan koordinasi kebijakan di bidang perumahan rakyat ini sangat tidak efektif untuk bisa dijalankan oleh Menteri PU yang sudah disibukkan dengan target proyek-proyek besar ke PU-an. Apalagi jika dijalankan oleh seorang pejabat setingkat Dirjen yang ingin mengkoordinasi Menteri-menteri lainnya.

Keenam, perumahan rakyat itu bersifat multi-sistem sebagaimana amanat UU no. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 21 dan 22, yang terdiri dari sistem perumahan publik, perumahan swadaya, perumahan komersial dan perumahan khusus (sosial). Tujuan penanganan secara multi sistem adalah untuk mencapai produksi rumah hingga 2,5 juta unit/tahun, dimana perumahan publik dan perumahan swadaya menjadi tumpuannya. Pembangunan blok-blok rusunawa harus dibenahi dengan menganut sistem perumahan publik yang baik. Program bedah rumah juga harus diperbaiki dengan menerapkan konsep perumahan swadaya yang benar. Pendekatan terpadu multi-sistem ini perlu didorong lagi untuk menjawab kebutuhan masyarakat, mengurangi backlog dan menuntaskan permukiman kumuh.

Ketujuh, perumahan rakyat itu adalah urusan yang melibatkan multi-stakeholders. Urusan perumahan rakyat tidak cukup antara pejabat kementerian dan kontraktor seperti halnya proyek-proyek di Kemen-PU. Untuk menangani berbagai multi-dimensi dan multi-sistem tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat harus menjalin hubungan yang harmonis dengan semua pihak, mulai dari;  

- Antar-instansi pemerintah pusat
- Antar-instansi pusat-daerah,
– Antar-pihak pelaku usaha pengembang perumahan,
– Antar-pihak pembiayaan dan perbankan, hingga
– Antar-pihak berbagai komunitas dan dunia LSM.

Peran untuk merangkul multi-stakeholders ini harus fokus, dan tidak mungkin dijalankan pejabat setingkat Dirjen atau Menteri yang perhatiannya terbagi-bagi.

Kedelapan, urusan perumahan rakyat itu sangat kompleks. Ketika multi-sistem penyediaan (ke-6) masing-masing djabarkan melalui multi-dimensi (ke-5) dan melibatkan multi-stakeholders (ke-7), maka kompleksitas urusan perumahan rakyat akan semakin tinggi lagi. Pemahaman serba multi dari urusan perumahan rakyat ini bukanlah untuk mempersulit masalah, namun untuk menyelesaikan masalah secara efektif. Hal ini karena memang pembangunnan di semua sektor membutuhkan delivery system yang baik.

Sebagai contoh, bagaimana menangani urusan perumahan para purnawirawan dan warakawuri tentara dan polisi? Jika yang diinginkan hanya penyederhanaan penanganan, tinggal gusur saja mereka. Bahkan mereka digusur pakai senjata dan prajurit yang jadi anak buah suaminya semasa bertugas. Sungguh ironis sekali. Namun tindakan ini melanggar alasan ke-satu, bahwa perumahan adalah hak dasar warga negara.

Kesembilan, perumahan rakyat meliputi pula bidang perumahan swadaya yang tidak bisa dilepas begitu saja dan tidak sesuai jika digabungkan ke dalam urusan ke-PU-an. Bidang Perumahan Swadaya sangat sarat dengan aspek community development nya, sehingga untuk menjalankan sistem perumahan swadaya, seorang Menteri Perumahan Rakyat harus bisa memahami dinamika sosial yang berkembang di tengah masyarakat.

Sebagai contoh, bagaimana menangani permukiman kumuh di Kampung Pulo yang sudah melewati masa 6 Presiden dan 6 Gubernur Jakarta namun belum beres-beres juga misalnya? Jika tidak mau repot-repot memahami, tinggal gusur saja mereka. Namun tindakan ini juga melanggar hak asasi warga negara.

Kesepuluh, urusan perumahan rakyat memiliki aspek Pembiayaan Perumahan, yang sangat berbeda dengan pembiayaan infrastruktur ke-PU-an. Untuk mengendalikan sistem perumahan komersial, seorang Menteri Perumahan Rakyat harus bisa memahami mekanisme pembiayaan dan dinamika pasar/industri properti. Bidang pembiayaan perumahan juga sangat terkait dengan dana-dana masyarakat seperti tabungan perumahan rakyat (tapera), serta terkait pula dengan sistem pembiayaan properti yang melibatkan otoritas keuangan seperti BI dan OJK. Sedangkan Kemen-PU tidak ada urusan dengan OJK dan BI dalam soal pembiayaan pekerjaannya dan tidak (justru tidak boleh) terkait langsung dengan bisnis properti.

Sebagai solusi, sebenarnya ada pendekatan kelembagaan yang lebih baik untuk mengatasi tumpang tindih urusan perumahan rakyat dan PU, tanpa mengganggu karakter masing-masing urusan. Di dalam usulan Pokja Perumahan Rakyat rumah transisi sudah diusulkan agar Kementerian Perumahan Rakyat justru diperkuat dengan urusan permukiman dan perkotaan. Yaitu dengan menggabungkan Cipta Karya dan Tata Ruang (perkotaan) ke dalamnya. Dengan struktur baru seperti ini, selain tetap menjaga urusan perumahan rakyat yang ada unsur sosial-ekonominya, juga menghilangkan tumpang tindih dalam urusan prasarana permukimannya.

Berbagai kegagalan urusan perumahan rakyat pada pemerintahan reformasi hingga kini adalah karena mispersepsi terhadap tata-kelola perumahan rakyat. Disangkanya urusan Menpera sebatas mengendalikan tender rumah susun. Disangkanya sebatas bagi-bagi duit untuk bedah rumah, atau disangkanya pula sebatas gunting pita peresmian proyek pengembang swasta. Yag lebih parah adalah motif untuk mengendalikan placement dana-dana besar seperti FLPP, Bapertarum dan SMF hingga senilai lebih dari 20 triliun rupiah. Namun kekeliruan selama 15 tahun pemerintahan reformasi tidak berarti Menpera harus disatukan dengan Kemen-PU. Yang perlu dilakukan adalah benar-benar membenahi dan memperkuat posisi Kementerian Perumahan Rakyat untuk mencapai rumah layak huni untuk semua rakyat dan kota-kota tanpa permukiman kumuh.

Urusan perumahan rakyat bukannlah urusan teknis konstruksi, karena perumahan rakyat sejatinya adalah pelaksanaan dari strategi kebudayaan dan membangun karakter bangsa. Untuk itu pemerintahan baru Jokowi-Kalla perlu memprioritaskan program perumahan rakyat secara konsekwen dan menunjuk seorang Menteri yang tepat sebagai pembantu presiden.


Penulis


M. Jehansyah Siregar, Ph.D
Anggota Laboratorium Perumahan dan Permukiman SAPPK ITB

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perkuat Posisi Golkar dengan Aksi Nyata


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler