jpnn.com, JAKARTA - Pengamat pendidikan abad 21 Indra Charismiadi mengajak seluruh guru, dosen maupun insan cendekia untuk menolak RUU Sisdiknas.
RUU tersebut dinilai merugikan insan pendidikan. Indra mencatat ada 10 fakta problematika fundamental RUU Sisdiknas, yaitu:
BACA JUGA: Tunjangan Guru Honorer Diatur dalam UU Ketenagakerjaan, Indra: Kok Disamakan dengan Buruh
1. Mengaburkan peran pemerintah sebagai pelaksana dan penanggungjawab usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
a. UU Nomor 20 Tahun 2003
BACA JUGA: 4 Bulan Gaji Pegawai Balai Guru Penggerak Belum Dibayar, Indra: Masih Percaya Bualan Nadiem?
- Pasal 1 ayat 18 menyatakan wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh WNI atas tanggung jawab pemerintah dan Pemda
- Pasal 1 ayat 30: Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BACA JUGA: Guru Lulus PG Minta Nadiem Fokus Program 1 Juta PPPK, RUU Sisdiknas Belum Mendesak
b. Draf UU Sisdiknas versi Agustus 2022
- Pasal 1 ayat 13: Wajib Belajar adalah program Pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia.
- Pasal 1 ayat 19: Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
2. Penghapusan peran aktif masyarakat dalam Sisdiknas yang seharusnya ditingkatkan.
Itu ditandai denga hilangnya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, pmbentukan distrik sekolah dapat menjadi salah satu alternatif kebijakan.
3. Tidak ada kajian akademis yang komprehensif tentang problematika dan kondisi pendidikan Indonesia saat ini dan solusi nyata yang ditawarkan.
Naskah akademik hanya mengambil potongan-potongan pikiran dari beberapa tokoh yang diarahkan untuk melegitimasi program-program Kemendikbudristek sendiri.
"Profil Pelajar Pancasila bukan merupakan turunan ekslisit dari sila-sila Pancasila," tegas Indra Charismiadji dalam diskusi RUU Sisdiknas, Senin (19/9).
4. Sisdiknas yang disusun masih lebih condong ke Sistem Persekolahan Nasional.
Seharusnya kata Indra, antara pendidikan di rumah, sekolah, dan masyarakat seimbang. Pendidikan rumah dan masyarakat harus lebih banyak ditingkatkan porsi dan implementasi nyatanya.
5. Miskonsepsi tentang wajib belajar menjadi kewajiban orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya dan ikut menanggung biayanya. Seharusnya negara menyediakan akses pelayanan pendidikan formal untuk semua warga negara dan dibiayai penuh oleh negara.
Beberapa alternatif kebijakan baru:
• Pembukaan charter school (sekolah piagam), yaitu sekolah yang dikelola masyarakat tetapi biaya 100% ditanggung negara.
• Sekolah negeri berubah menjadi sekolah negara dan statusnya menjadi satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga tidak perlu diberi dana BOS, tetapi 100% biaya menjadi tanggungan pemerintah.
6. Tidak ada upaya nyata untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia seperti rekomendasi lembaga-lembaga kajian internasional:
7. Sisdiknas masih multisistem dan bertentangan dengan amanat Konstitusi.
Perpres Nomor 1O4 Tahun 2021 masih menunjukkan bahwa anggaran pendidikan tidak pernah masuk dalam Sisdiknas.
8. Tidak transparan.
Sampai hari ini belum ada penjelasan tim penyusun RUU Sisdiknas dari pemerintah.
9. Tidak ada pelibatan publik yang bermakna.
Kemendikbudristek justru sibuk membuat meme, flyer, postingan medsos, menggunakan influencer, membuat video penjelasan, membuat atau hadir di diskusi RUU Sisdiknas untuk kalangan yang mendukung saja.
10. Belum adanya cetak biru atau grand design pendidikan Indonesia.
Harusnya dibentuk panitia atau kelompok kerja nasional yang isinya para pakar pendidikan, tokoh pendidikan, perwakilan masyarakat daerah, akademisi, organisasi profesi, organisasi masyarakat.
Organisasi keagamaan, perwakilan etnis, perwakilan kelompok/golongan, organisasi pelajar dan mahasiswa, pemerintah (pusat dan daerah), dan lain sebagainya sebelum menyusun RUU Sisdiknas. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad