10 Hari Bom Paskah, Sri Lanka Masih Dihantui Teror

Jumat, 03 Mei 2019 – 20:41 WIB
Polisi Sri Lanka berjaga di dekat salah satu lokasi serangan bom Paskah. Foto: AFP

jpnn.com, KOLOMBO - Serangan bom bunuh diri di Sri Lanka sudah lewat sepuluh hari. Namun, otoritas belum bisa meredakan kondisi tegang di negara pulau itu. Sudah dua minggu berturut-turut, misa minggu di seluruh penjuru gereja dibatalkan.

Minggu lalu (28/4), Uskup Agung Kolombo Kardinal Malcolm Ranjith membatalkan peribadatan karena situasi yang masih rawan. Seharusnya, peribadatan bisa dimulai seminggu kemudian. Namun, rencana itu gagal setelah pihak berwenang meminta masa libur gereja diperpanjang.

BACA JUGA: Bos ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi Nongol Lagi

Menurut laporan yang diterima, terdapat ancaman pengeboman di setidaknya dua tempat ibadah Kristiani. Karena itu, peribadatan pada 5 Mei terpaksa diurungkan. "Atas saran dari petugas keamanan, tak akan ada misa di gereja mana pun," ujar juru bicara Keuskupan Agung Kolombo kepada Agence France-Presse.

BACA JUGA: Trauma Teror, Sri Lanka Larang Warga Menutup Wajah

BACA JUGA: Gembong ISIS Al-Baghdadi Belum Mati

Aktivitas di negara Asia Selatan itu serba terbatas. Otoritas masih khawatir adanya serangan lanjutan. Rencana aksi kampanye memperingati Hari Buruh pada 1 Mei pun dilarang. Sudut-sudut kota dijaga oleh para tentara. Terutama wilayah sekitar gereja. Kardinal Ranjith diberi limusin antipeluru dan konvoi penjagaan. Namun, limusin itu dikembalikan.

"Saya tak perlu kendaraan antipeluru. Tuhan adalah pelindung saya," tegasnya.

BACA JUGA: Trauma Teror, Sri Lanka Larang Warga Menutup Wajah

Pria berumur 71 tahun itu masih kecewa pada pemerintah. Dia merasa terkhianati karena pemerintah tak sigap mencegah ancaman dari para ekstremis. Padahal, sudah ada informasi intelijen soal serangan itu sebelumnya.

Pemerintah juga terkesan lambat dalam menangani jaringan teroris di dalam negeri. Meski sudah mengamankan 150 tersangka, nyatanya umat Kristiani masih belum bisa beraktivitas dengan tenang.

Kekhawatiran itu juga dirasakan umat Buddha di Sri Lanka. Kuil Gangaramaya praktis hampir melompong pasca serangan yang menewaskan ratusan orang tersebut. Nilman Kenayake pun dibuat kaget. Seumur-umur, pekerja pabrik itu tak pernah melihat wihara tertua di Sri Lanka tersebut sepi. "Mereka (teroris) menarget gereja. Dan kuil juga merupakan tempat beribadah," ungkap pria 29 tahun itu.

Rumor itu juga sampai ke telinga Pallegama Rathanasara, salah seorang biksu di Gangaramaya. Dia menerima laporan bahwa serangan berikutnya bakal terjadi di wihara. Semua itu tentu membuat sebagian besar penduduk semakin paranoid. "Kondisi ini jadi panggung bagi kaum ekstremis Buddha. Mereka tak segan menanamkan ketakutan kepada semua umat Buddha," ujar pakar politik Kusla Perera.

Selama ini, lanjut Perera, aktivis Buddha garis keras ingin menjadikan Sri Lanka sebagai negara berbasis agama mayoritas. Hal tersebut bisa jadi awal dari pemerintahan yang menindas kaum minoritas selain Buddha.

Beruntung, tak semua pihak ingin memanfaatkan keresahan masyarakat. Omalpe Sobitha, tokoh Buddha moderat, meminta agar Kardinal Ranjith segera mengadakan dialog antaragama. Menurut dia, konflik antaragama harus segera dicegah sebelum terlambat. (bil/c6/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Teror Bom Paskah: Sri Lanka Tutup Masjid NTJ


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler