jpnn.com, JAMBI - Sebanyak 10 seniman dari Kilau Art Studio Jakarta berkolaborasi dengan 40 orang perajin resam dan masyarakat Kabupaten Muaro Jambi untuk membuat karya instalasi gigantik Harmoni(S).
Kegiatan ini sendiri didukung oleh Kemendikbud RI lewat program Fasilitasi Bantuan Kebudayaan (FBK) 2020.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: NIP PPPK Masih Misterius, Edy Rahmayadi Beraksi, Ada 21 Aplikasi Jahat
Karya instalasi Harmoni(S) diakui Saepul Bahri, Ketua Komunitas Kilau Art Studio sebagai bentuk respons atas keberagaman masyarakat Jambi.
Saepul juga menyinggung isu lingkungan lewat resam yang dijadikan sebagai bahan baku karya tersebut.
BACA JUGA: Seniman Kalteng Mengapresiasi Gagasan Ben-Ujang Soal Wisata Budaya
"Kami berharap karya ini bisa menjadi ikon atas nilai-nilai kerukunan dan keselarasan masyarakat Jambi yang beragam. Selain itu kami juga memuliakan resam yang notabennya
adalah gulma sebagai bahan baku. Hal tersebut semata-mata sebagai sindiran terhadap kondisi lingkungan di berbagai wilayah negeri ini. Sementara itu, visi lain dari Kilau Art Studio adalah dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipan dalam proses pengerjaan karya gigantik & Harmoni(S). Tujuannya agar nilai-nilai kebersamaan dan kolaborasi yang direpresentasikan dalam bentukan karya tersebut benar-benar nyata dan dirasakan bahkan sejak proses pembuatannya," ujar Saeful.
Kemudian, Rengga dari Komunitas Kilau Art menambahkan, proses pembuatan karya dengan kolaborasi mempunyai tantangan.
BACA JUGA: Syarief Hasan Ajak Seniman Jadi Pelopor Pengamalan Empat Pilar
"Satu hal yang menjadi tujuan kami saat menerima bantuan ini (Fasilitasi Bidang Kebudayaan Kemendikbud RI) adalah menciptakan sebuah karya yang bukan bersumber dari ego komunitas saja, melainkan karya yang bisa dimiliki siapa saja karena melibatkan banyak orang," imbuhnya.
Selain itu dengan kolaborasi, dia berharap adanya transfer ilmu pengetahuan baik itu dari komunitas ke pengrajin dan masyarakat.
"Justru lebih dan kurangnya karya ini menjadi nilai tersendiri, yaitu kolaborasi tadi sehingga ada dialektika yang ditawarkan oleh Harmoni(S). Resam dan Ancaman Lingkungan," tambahnya.
Sementara itu, pemanfaatan gulma resam (latinnya dicranopteris linearis) yang merupakan pakis hutan sebagai bahan baku utama pembuatan karya ini membawa pesan khusus yang hendak disampaikan ke masyarakat.
Menurutnya, pemuliaan resam yang menjadi inti dari karya gigantik itu membawa pesan pengingat, bahwa kondisi lingkungan Indonesia sedang terancam.
Dua lokasi yang menjadi fokus karya Harmoni(S), yakni Desa Sukamaju sebagai penyuplai bahan baku resam dan perajin yang berkolaborasi, juga kawasan penopang cagar budaya Candi Muaro Jambi sebagai lokasi penempatan karya, sudah lama menghadapi ancaman lingkungan.
Di Desa Suka Maju misalnya, masifnya perkebunan sawit membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Sementara tidak jauh dari kawasan penopang cagar budaya
Candi Muaro Jambi, ancaman tambang batubara sudah lama meresahkan masyarakat, di samping kepungan sawit tentunya.
“Ya, inti nya itu, warning atas dampak perluasan infrastruktur. Ini (karya Harmoni(s)) juga bisa menjadi mitigasi dampak negatif infrastruktur pada ekosistem setempat,” kata Hendra yang juga dari komunitas yang sama.
Namun di balik ancaman tersebut, kehadiran resam juga menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat, khususnya masyarakat Desa Suka Maju.
Jauh sebelum karya gigantik Harmoni(S) dibuat, resam sudah lama dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk berabagai macam kerajinan.
“Adanya kerajinan dari resam ini merupakan bentuk pemanfaatan sampah ekologis budi daya silvikultur. Bisa menjadi road map ekonomi kreatif berbasis gulma meski ironisnya juga menjadi tanda keragaman hayati ekosistem yang terganggu. Istilahnya, berkah misterius dari tragedi deforestasi” lanjut Hendra.
Sorotan lain yang menarik dari karya ini adalah terkait lokasi penempatan karya. Kawasan kompleks Candi yang dahulu sakral dan seolah tidak tersentuh dengan kehadiran budaya baru, justru dipilih menjadi tempat karya Harmoni(S) berdiri.
“Seniman-seniman dari Kilau Art Studio seolah ingin menyambung masa lampau dengan fenomena saat ini,” ujar kurator seni Bambang Asrini Widjanarko.
Bambang juga menyinggung Candi Kedaton – Candi yang paling dekat dengan karya
Harmoni(S) di kompleks Candi Muaro Jambi - sebagai Global Ancient College. Di mana Candi ini 1200 tahun yang lalu menjadi tempat ajar- mengajar dengan ribuan murid dan peziarah.
“Seni diperlukan untuk menyampaikan ke luar bahwa ada sebuah peradaban kuno yang hingga kini terawat dengan baik dan bisa menjadi refleksi bagi kita semua. Juga bagaimana
progresifnya kebudayaan itu dibangun dan terbangun oleh masyarakat yang cerdas pada masa lampau. Hal itu memantul pada kita lewat karya seni ini (Harmoni(S)),” tukas Bambang.
Sementara itu, orientasi Candi Kedaton sebagai warisan budaya masa lampau dan karya seni Harmoni(S) sebagai representasi budaya kekinian juga menarik untuk di simak.
“Jika kami perhatikan, Candi Kedaton sebagai peninggalan budaya masa lampau berorientasi pada sungai, sebagai penghubung dan pusat mobilitas kala itu. Bandingkan dengan karya
Harmoni(S) yang berorientasi pada aspal (jalan raya) yang kini juga kita ketahui amat penting di era modern saat ini. Sebuah fenomena yang cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut,” ungkap Hendra.
Kehadiran karya seni gigantik Harmoni(S) bisa menjadi penanda era baru seni kontemporer yang berbasis pada kolaborasi, isu kekinian dan pemanfaatan wilayah-wilayah inti.
Tentunya hal tersebut juga harus ditunjang dengan riset dan indikator yang memadai. “Sebuah model karya seni yang melahirkan kegiatan ekonomi padat karya, padat ide, dan realistis,” tutup Hendra.
Redaktur & Reporter : Natalia