jpnn.com, JAKARTA - Kapolri Jenderal (Pol) Listiyo Sigit Prabowo telah menjalankan 100 hari pertama bertugas sejak dilantik pada 27 Januari 2021.
Mengusung jargon Presisi, yang merupakan kependekan dari prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan, Jenderal Listyo Sigit meluncurkan 16 program prioritas.
Menurut Sekjen Pemuda Pancasila Arif Rahman, Kapolri telah meletakkan pondasi di seratus hari pertama masa bertugasnya. Citra dan wajah kepolisian RI berubah drastis, terutama dengan kebijakan e-Tilang atau ETLE (electronic Traffic Law Enforcement).
Secara gradual, anggota Polisi tidak lagi melakukan tilang (Tindakan langsung) melainkan hanya pengarahan dan pengawasan. Kebijakan ini mengahapus citra Polantas sebagai tukang pungli.
BACA JUGA: Kapolri Menaikkan Pangkat 6 Pati, Salah Satunya Jenderal Bintang 3
Kemudian adanya aplikasi E-dumas (Elektonik Pengaduan Masyarakat) yang membuka pintu bagi masyarakat untuk melaporkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan anggota polri. Kinerja seratus hari pertama Kapolri dinilai Arif sudah on the track, Presisi Polri telah dijalankan dengan baik, bukan sekedar jargon.
Jika Kapolri terus konsisten manjalankan program Presisi dengan melibatkan unsur masyarakat yang lebih luas lagi, diyakini akan mampu meningkatkan kinerja Polri secara keseluruhan dan Polri dapat meraih kepercayaan masyarajat yang lebih tiggi dibandung sebelumnya.
BACA JUGA: Habib Aboe: Program 100 Hari Kapolri Perlu Disempurnakan
Arif juga menegaskan salah satu poin krusial yang dilakukan oleh Sigit, yakni mengembalikan citra netralitas Polri. Dia menilai kepemimpinan Sigit mampu mematahkan persepsi masyarakat yang menganggap polisi sebagai alat penguasa.
Salah satunya dengan menerbitkan Surat edaran bernomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. SE ditandatangani Jumat (19/2). Selama ini UU ITE dianggap oleh oposisi sebagai alat untuk membungkam sikap kritis oposisi.
Isi surat edaran itu salah satunya meminta penyidik polisi mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Listyo juga meminta penyidik memprioritaskan langkah damai dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan laporan dugaan pelanggaran UU ITE.
Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium), dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
Namun, Arif juga menegaskan kinerja 100 hari Sigit merupakan pemanasan bagi Polri untuk menghadapi tantangan ke depan.
Kinerja 100 hari Polri ini sangat ditopang oleh program berbasis teknologi informasi. Jika hal ini tidak segera ditopang dengan edukasi dan pembinaan yang tepat, efektif dan efisien terhadap SDM Polri dikhawatirkan justru akan menimbulkan kesenjangan kinerja.
Di samping itu Arif menyoroti perlunya pelibatan unsur masyarakat terutama keterlibatan Ormas Agama dan Ormas Nasionalis dalam menunjang kinerja Polri.
Dia mengajak Polri untuk berperan aktif merangkul unsur masyarakat lain (Ormas Agama dan Nasionalis) untuk mensukseskan 16 program Presisi Polri dalam menjaga toleransi dan kebihinekaan.
“Pemuda Pancasila selalu siap menjadi mitra strategis Polri dalam rangka menjalankan tugas-tugas Polri di bidang keamanan nasional dan penegakkan hukum serta menjaga aksi-aksi intoleransi dalam bingkai kebhinekaan,” ujar Arif.
Kader Pemuda Pancasila yang jumlahnya puluhan juta merupakan asset bangsa yang akan selalu siap membantu Polri dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil