1.000 Kali Ganti Kurikulum, Kalau Guru Enggak Mampu, Tetap Anak-Anak Bakal Stres

Selasa, 05 Mei 2020 – 12:02 WIB
Pengamat dan Praktisi Pendidikan Indra Charismiadji. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan praktisi pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji menilai, rencana membuat kurikulum darurat COVID-19 hanya buang-buang anggaran.

Apalagi di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, tidak layak bila segelintir orang ngotot membuat kurikulum baru meski status darurat

BACA JUGA: Indra Charismiadji: Sekarang Ini seperti Tebak-tebak Berhadiah

"Lagi krisis begini kok mau bikin kurikulum baru. Enggak usah 'ngeproyeklah'. Kita belum butuh kurikulum darurat COVID-19," kata Indra kepada JPNN.com, Selasa (5/5).

Dia mengungkapkan, untuk membuat kurikulum baru harus butuh dana triliiun rupiah. Itupun waktunya panjang.

BACA JUGA: Guru Jangan Fokus pada Penuntasan Kurikulum, Utamakan Siswa Bahagia Belajar di Rumah

"Biasanya untuk penyusunan kurikulum reguler makan duit triliunan rupiah. Apalagi kalau mau express supercepat. Kilat kan lebih mahal daripada reguler," ucapnya.

Indra menegaskan, masalah yang terjadi sekarang dalam pembelajaran jarak jauh, ada di guru. Bukan kurikulumnya.

BACA JUGA: Indra Charismiadji: Pendidikan Indonesia Gagap Terapkan Belajar Daring

Sebagus apa pun kurikulumnya, kalau kualitas gurunya rendah, tidak akan jalan.

"Alasan buat kurikulum darurat COVID-19 agar siswa tidak stres, itu enggak masuk akal. Sebab, problemnya bukan di kurikulumnya, tetapi di gurunya. Kalau masih ada yang ngotot buat kurikulum baru, itu patut dipertanyakan tujuan sebenarnya. Bisa juga mereka tidak benar-benar memahami problemanya," tuturnya.

Dia menambahkan, bila kurikulumnya diganti tetapi gurunya tidak dibekali apa-apa, kira-kira apa hasilnya. Pasti sama saja kacau.

Itu sebabnya, kata Indra, daripada menghabiskan uang negara untuk susun kurikulum darurat, lebih baik dibuatkan panduan untuk guru-guru dan orang tua. Ini yang sampai sekarang belum dilakukan pemerintah sama sekali.

"Guru-guru cuma dilepas saja. Tidak ada evaluasi, enggak ada bimbingan. Jangan heran mayoritas guru kita kualitasnya rendah," ucapnya.

Dia mencontohkan, kurikulum 2013 (K13), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan kurikulum berbasia kompetensi (KBK) semuanya tidak berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Padahal sudah triliunan rupiah dihabiskan negara untuk membuat kurikulum terbaik.

"Kalau mau selesaikan masalah bukan hanya dilihat di permukaan, akarnya yang harus dicari. Nah, akar masalah itu ada di guru. Saya sudah berkali-kali bilang, cuma 2,5 persen dari 3 juta guru PNS dan honorer yang berkualitas. Sisanya ampun dah kualitasnya," sergahnya.

"1000 kali ganti kurikulum kalau guru enggak mampu tetap anak-anak akan stres. Kalau kata orang bule, It’s not the gun, it’s the man behind the gun that makes the difference (Bukan senjatanya yang penting tetapi orang yang menggunakan senjata yang penting)," sambungnya.

Dia berharap, pihak-pihak yang ngotot dibuat kurikulum baru ataupun darurat bukan karena orientasi duit. Sebab, membuat kurikulum butuh duit, waktu, tenaga, dan tetap harus training lagi.

"Enggak usah pikir proyek terus. Pikirkan bagaimana meningkatkan kualitas guru biar siap menghadapi keadaan apapun. Baik kondisi normal maupun abnormal. Harusnya program pembangunan SDM itu mulai dari pembinaan guru. Merdeka Belajar harus mulai dari guru. Bukan event aneh-aneh," pungkasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler