jpnn.com, MAMUJU - Aksi 17 dokter spesialis mengundurkan diri dari RS Regional Sulawesi Barat, mendapat perhatian luas masyarakat. Bisa dibilang, ini merupakan puncak konflik antara dokter dengan pemprov setempat.
Sebelum melayangkan surat pengunduran diri, komite medik telah melayangkan mosi tidak percaya kepada Gubernur Sulbar, Selasa, 19 September.
BACA JUGA: 17 Dokter Spesialis Mengundurkan Diri, Ini Daftar Namanya
Kemudian dilanjutkan dengan aksi mogok, Jumat, 6 Oktober. Puncaknya, mereka mengajukan pengunduran diri sebagai aparatur sipil negara (ASN), Jumat, 8 Desember.
Para dokter spesialis kecewa terhadap manajemen RS. Mereka menilai, kondisi rumah sakit yang substandar, memaksanya mereka bekerja tidak sesuai Standard Operating Procedure (SOP).
BACA JUGA: 17 Dokter Spesialis di RS Regional Sulbar Mengundurkan Diri
Menurut mereka, dalam melaksanakan kewajiban, para dokter harus mengacu pada standar profesi menurut bidangnya masing-masing yang tertuang dalam Standar Pelayanan Medik (SPM). Pedoman yang digunakan terutama dititikberatkan pada tindakan medis.
Ketua Komite Medik RS Regional Sulbar, dr Harpandi Rahim, mengatakan banyak standar kelayakan kesehatan yang terabaikan. Hal ini membuatnya bekerja di bawah tekanan yang bisa membahayakan pasien.
"Aksi pengunduran diri ini adalah puncak dari masalah yang ada. Kami tidak mau disalahkan jika terjadi sesuatu dengan pasien karena banyak alat yang kurang standar," ungkap Harpandi, kemarin.
Mengenai beasiswa para dokter, dia menegaskan tidak mengetahui adanya perjanjian kerja sama yang dimaksud direktur RS Regional.
Sebab, beasiswa yang didapatkan oleh beberapa dokter yang mengundurkan diri tersebut berasal dari kementerian kesehatan.
Juga terdapat poin yang menyebut, jika pihak pemerintah mengabaikan hak mereka, maka mereka bisa mengundurkan diri.
Para dokter spesialis ini juga mengeluhkan tidak lancarnya penerimaan Tambahan Pendapatan Pegawai (TPP) dan Jasa Medik Pelayanan.
"Keputusan ini lama kami pikirkan. Pasti banyak orang punya pemikiran, kok mau-maunya ini dokter lepas status PNS. Jawabannya, ada hal tertentu yang prinsipil sehingga mau lepas status PNS yang sangat diharapkan banyak orang," urai Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif ini.
Menanggapi hal tersebut Direktur RS Regional Sulbar, dr Andi Munasir mengatakan, pihaknya telah berupaya melakukan yang terbaik.
Terkait dengan adanya obat yang kurang itu disebabkan karena pernah terjadi gagal tender, namun telah diselesaikan.
Sedangkan untuk pernyataan bahwa alat kesehatan tidak standar, hal tersebut tidak benar.
Alasannya, Kementerian Kesehatan telah berkunjung ke RS Regional Sulbar. Direktur RS Wahidin Sudirohusodo juga datang.
"Dan hasilnya, mereka menyatakan cukup standar. Hanya ada satu catatan, yaitu cahaya yang minim di ruang operasi dan telah juga kami selesaikan," ungkap Munasir, seperti dilaporkan FAJAR (Jawa Pos Group).
Pria yang akrab disapa Ade tersebut mengatakan, mengenai keterlambatan pembayaran TPP dan jasa medik, itu di luar tanggungan manajemen. Alasannya, RS Regional Sulbar belum menyandang status Badan Layanan Umum (BLU).
Pengelolannya masih harus berkoordinasi dengan Pemprov Sulbar. "Coba sudah BLU, itu tanggungan kami. Semua berkas untuk pengusulan menjadi BLU sudah sampai di kemetenterian dan kita hanya menunggu hasilnya. Semoga disetujui, sehingga segala sesuatunya dikelola di RS," imbuhnya. (edw/rid/nas)
Redaktur & Reporter : Soetomo