1,7 Juta Hektare Hutan Jambi Rusak

Kamis, 08 Maret 2012 – 17:20 WIB

JAMBI - Dari total 5,3 juta luas lahan Provinsi Jambi, sedikitnya 1,7 Juta hektare lahan telah dijual dan disulap menjadi areal perkebunan dan pertambangan. Rinciannya, 1,1 juta hektare lahan disulap menjadi areal perkebunan sawit dan karet. Sisanya, seluas 600 ribu hektare disulap menjadi kawasan pertambangan.

Anggota DPRD Provinsi Jambi Henry Masyhur menjelaskan, demam kelapa sawit yang melanda Jambi telah menginfeksi sehingga merusak hutan-hutan di Jambi. Menurutnya, seluas 344 ribu hektare kawasan hutan telah mendapatkan izin pelepasan. “Luasan itu meliputi 38 pengajuan yang sebagian besar diusulkan untuk perkebunan,” katanya.

Menurut dia, bagi investor, pembangunan perkebunan di atas lahan hutan memang menarik. Daya tarik pertama adalah setelah memperoleh izin pemanfaatan kayu (IPK), sebuah perusahaan dapat menebang habis kawasan tersebut dan menjual kayunya kepada industri pengolahan kayu. Lalu, daya tarik kedua adalah prospek perkebunan kelapa sawitnya sendiri. “Itulah alasan kenapa hanya sekitar 30 % saja lahan yang direalisasikan penanamannya di Jambi,” ujarnya.

Henry mengungkapkan, dari 1,1 juta hektare lahan perkebunan, hanya 400 ribu hektare yang sudah ditanam. Sisanya seluas 700 ribu hektare tidak dikelola. “Dari situ terlihat jika pengajuan izin perkebunan adalah hanya mengincar keuntungan kayu. Bukan murni untuk menanam sawit atau karet. Ini yang harus menjadi perhatian semua pihak,” jelasnya.

“Bayangkan, mau diapain lahan rusak 700 ribu itu,” imbuhnya. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, terdapat sebanyak 10 perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang masih aktif dengan jumlah total areal seluas 349.408 ha. Sementara perusahaan HTI pulp yang masih aktif hanya satu yaitu PT. Wirakarya Sakti dengan izin luas areal 350.000 hektare hingga tahun 2010.

Selain itu, masalah eksploitasi batu bara merupakan yang paling krusial di Provinsi Jambi. Menurutnya, itu karena maraknya penambangan mensisakan reklamasi yang belum selesai. Sepengetahuannya, ada 132 perusahaan pertambangan batubara di Provinsi Jambi dan beberapa kuasa pertambangan tumpang tindih dan memicu konflik lahan.

Dia mengatakan, hampir seluruh tempat di Jambi didominasi dengan pertambangan batu bara yang dilakukan dengan sistem terbuka. “Sistem ini tentunya menimbulkan dampak yang besar terhadap lingkungan bila dibandingkan dengan sistem terowongan bawah tanah seperti di Cina,” kata politisi dari PKS ini.
Oleh sebab itu, lanjut dia, perlu ada solusi keberlanjutan untuk menyeimbangkan nilai ekonomi batu bara dengan nilai sosial dan lingkungan. “Kesimbangan yang tidak tercapai pada akhirnya akan menjadi bencana,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Hasvia mengatakan, dari total 2,1 juta hektare kawasan hutan di Provinsi Jambi, hanya 971 ribu hektare yang boleh digarap. Dia juga mengungkapkan, saat ini hanya ada 21 perusahaan tambang di Jambi yang mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri kehutanan (Menhut).

Rinciannya, untuk pertambangan migas 18 izin dengan luas mencapai 43 ribu hektare dan tambang (batu bara dan emas) 3 izin seluas 10 ribu hektare. “Perusahaan-perusahaan tambang itu diizinkan melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang berada di kawasan hutan produksi. Sedangkan kawasan hutan yang dipinjampakaikan untuk hutan tanam industri (HTI) mencapai 13 perusahaan seluas 507 ribu hektare. “Artinya, sisanya tidak boleh digarap,” jelasnya.

Kawasan hutan yang tidak boleh digarap tersebut, yakni kawasan hutan lindung yang mencapai 191 ribu hektare. Taman nasional 608 ribu hektare dan cagar alam 30 ribu hektare. “Perusahaan tambang yang melakukan eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan diwajibkan memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Tidak cukup hanya memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) saja,” terangnya.(mui/iis)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kinerja SBY-Boediono Dinilai Mengecewakan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler