1997, Rupiah Melemah juga Usai Petinggi IMF Datang, Ada Apa?

Jumat, 02 Maret 2018 – 07:47 WIB
Presiden Joko Widodo bersama Managing Director IMF Christine Lagarde (tengah) dan Menkeu Sri Mulyani di Pasar Blok A Tanah Abang, Senin (26/2). Foto: Biro Pers Setpres

jpnn.com, JAKARTA - Kurs rupiah terhadap USD mengalami pelemahan signiifikan. Di pasar spot Kamis (1/3), Rupiah sempat diperdagangkan di harga Rp 13.810.

Ketua Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia Khafid Sirotuddin mengatakan pelemahan nilai tukar Rupiah cukup memukul semua sektor ekonomi di Indonesia.

BACA JUGA: Kurs Rupiah di Titik Terendah, Apa Pemicunya?

"Memukul semua sektor ekonomi yang berbahan baku impor maupun yang menggunakan dolar," ujarnya saat dihubungi Jawa Pos, Kamis . Untuk importir hal ini tentu saja cukup merugikan.

"Nangka jual USD 3, terima USD 3. Belinya menggunakan dolar jualan pakai Rupiah," imbuhnya.

BACA JUGA: Fadli Zon Persoalkan Cara Jokowi Perlakukan Bos IMF

Begitu pun bagi eksportir yang tetap harus menggunakan dolar untuk keperluan logistik saat pengiriman barang ke luar negeri.

"Semua biaya pakai dolar. Shipping, demo rate menggunakan dolar. Pusing," imbuhnya.

BACA JUGA: Fasilitas Pasien BPJS Bikin Kaget Petinggi IMF

Apalagi saat ini nilai ekspor buah dari Indonesia masih belum begitu tinggi. Dia menambahkan situasi ini cukup mengingatkannya pada peristiwa tahun 1997.

"Waktu itu Rupiah juga mengalami pelemahan setelah kehadiran salah satu direktur IMF. Saat ini pun juga. Ada apa?" tuturnya.

Sementara itu, Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani menekankan bahwa pemerintah terus melakukan monitoring terhadap dampak dari segala bentuk dinamika ekonomi global yang tengah terjadi.

Termasuk diantaranya, harga minyak dunia yang tengah mengalami tren peningkatan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus tertekan.

Seperti diketahui, harga minyak dunia saat ini sudah berada di atas asumsi dalam APBN 2018 yang hanya sebesar USD 48 per barel, yakni di kisaran USD 60 per barel.

Begitu juga dengan kurs rupiah yang juga sudah tidak lagi sejalan dengan asumsi yang disepakati pemerintah dan BI.

“Tentunya semua perkembangan variable ekonomi tersebut (kurs rupiah dan harga minyak) selalu dipantau oleh pemerintah secara konsisten,”jelasnya kepada Jawa Pos, kemarin.

Meski begitu, Askolani menekankan bahwa pemerintah belum berniat merevisi atau melakukan penyesuaian asumsi dalam APBN 2018, terkait dengan deviasi dua asumsi makro tersebut.

Sebab, monitoring yang dilakukan pemerintah dilakukan dalam jangka menengah bahkan sampai akhir tahun ini.

“Jadi bukan jangka pendek, mingguan atau bulanan. Dari pemantauan jangka menengah tersebut akan menjadi bahan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang diperlukan,”katanya.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Adrianto menuturkan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, cukup krusial dalam postur APBN, dari sisi pendapatan, belanja dan pembiayaan anggaran.

Namun, dia menilai, pelemahana nilai tukar rupiah saat ini hanya bersifat sementara. Sehingga belum perlu melakukan penyesuaian asumsi makro dalam APBN 2018.

“Asumsi kurs tersebut juga dibutuhkan untuk menghitung pos-pos penerimaan dan pengeluaran dalam APBN yang nilai awalnya mengacu pada dolar AS, seperti penerimaan pajak perdagangan internasional dan penerimaan negara bukan pajak dari kegiatan eksplorasi migas, belanja subsidi energi, serta pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri. Tapi pergerakan nilai tukar kami lihat bersifat temporer sebagai respon dari dinamika eksternal,”katanya pada Jawa Pos, kemarin. (rin/jun/vir/ken/oki)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usai Blusukan di Tanah Abang, Bos IMF Puji Perekonomian RI


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler