2 Catatan Penting Pakar Beton terkait Runtuhnya Atap RSAL

Senin, 19 Maret 2018 – 07:41 WIB
Atap ruang inap pavilliun 7 RSAL dr Ramelan Surabaya runtuh, Minggu (18/3/2018). FOTO: Dipta Wahyu/Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Tragedi runtuhnya atap bangunan Ruang Saraf Paviliun VII RSAL dr Ramelan Surabaya, Minggu (18/3), mendapat tanggapan Wakil Ketua Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mudji Irawan.

’’Gini lagi, gini lagi,’’ ujar Mudji Irawan setelah mendengar kabar runtuhnya atap gedung di RSAL dr Ramelan.

BACA JUGA: Detik-detik Runtuhnya Atap Ruang Inap RSAL dr Ramelan

Menurut dia, penggunaan baja ringan galvalum hanya cocok untuk rumah. Bangunan rumah sakit, sekolah, dan perkantoran tidak disarankan memakai baja ringan.

Keamanan bangunan-bangunan tersebut harus lebih tinggi karena dihuni banyak orang. Apalagi rumah sakit.

Mudji menyatakan, konstruksi rumah sakit sejak awal harus didesain tahan badai, gempa, atau bencana apa pun.

Baja ringan tidak akan mampu menahan beban berat badan bangunan yang memiliki bentang panjang.

Ada dua hal penting dalam catatannya tentang kasus robohnya konstruksi galvalum. Pertama, tenaga yang memasang baja ringan tidak terampil. Kedua, baja ringan terlalu tipis.

Mudji mengatakan, banyak orang yang beranggapan bahwa pemasangan galvalum gampang dan cepat. Siapa pun yang melihat pasti merasa bisa. Tinggal dirangkai dan disatukan dengan paku keling atau baut sudah jadi.

Padahal, pemasangan baja ringan perlu kecermatan yang tinggi. Perlu tenaga terampil yang memiliki bekal khusus dari produsen baja ringan tersebut.

’’Satu baut saja mbeleset, efeknya domino. Roboh semuanya,’’ jelas alumnus SMAN 5 Surabaya itu.

Jika ada satu baut saja yang tidak pas, harus dibuat lubang baru. Jika dipaksakan, baja ringan bisa bengkok.

Efeknya mungkin tidak terlihat dalam satu atau dua hari. Bisa jadi tiga bulan baru dirasakan. Misalnya, kasus di RSAL dr Ramelan.

Apalagi, saat ini banyak produsen nakal yang memasarkan baja ringan yang tipis. Menurut dia, ketebalan baja ringan harus di atas 0,75 milimeter.

Namun, di pasaran banyak ditemukan baja ringan dengan ketebalan 0,6–0,5 milimeter. Gedung rumah sakit, kata dia, harus menggunakan baja biasa.

’’Jangan asumsikan baja biasa mahal. Ia awet dan aman. Lihat saja gedung-gedung lama Unair atau SMA 6. Kalau tidak pakai kayu jati, pasti pakai baja. Sekarang bagaimana? Masih kukuh,’’ jelas mantan kepala Pusat Studi Bencana ITS itu.

Agar tidak kembali terjadi, dia meminta pemerintah segera menertibkan produsen baja ringan yang melanggar aturan. Jika tidak, kejadian serupa bakal terus terulang. (sal/c15/eko)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler