2 Hal Ini Bisa Ubrak-abrik Peta Politik Jelang Pilpres 2019

Jumat, 03 Agustus 2018 – 13:48 WIB
Prabowo Subianto diapit Habib Salim (kiri) dan Sohibul Iman. Foto: istimewa for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, koalisi Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN harus jeli menetapkan nama capres dan cawapres sehingga bisa punya kekuatan melawan Jokowi di Pilpres 2019.

Menurut Pangi, kapasitas, popularitas, akseptabilitas terhadap kandidat menjadi maha penting. Selain itu, sense of politics, membaca trend apa yang sedang disukai masyarakat dan yang betul-betul diinginkan serta menjadi kebutuhan rakyat juga sangat penting.

BACA JUGA: Yakinlah, Demokrat-Gerindra Bakal Berkoalisi

"Kemampuan membaca sentimen publik dengan menerjemahkannya ke dalam keputusan politik strategis yang populis, berimplikasi nyata terhadap dukungan yang luas dari masyarakat," kata Pangi, Jumat (3/8).

Pangi mengatakan bahwa dalam mempertimbangkan posisi capres-cawapres tidak bisa dilakukan melaui pertimbangan dan kebijakan yang bersifat elitis, pragmatis dan transaksional, serta terkesan hanya memaksakan kehendak elite dan ego sektoral masing-masing partai koalisi.

BACA JUGA: Judas Priest Pengin Konsernya di Ancol Ditonton Jokowi

Menurut Pangi, kehendak dan logika publik sebagai pemilih dan pemegang kedaulatan harus menjadi pertimbangan (determinan) utama jika ingin mendapat simpati dan dukungan ril suara akar rumput.

Selain capres, kata dia, posisi cawapres pun menjadi sangat krusial dalam menentukan peta politik saat ini. Bahkan, posisi cawapres justru lebih banyak diperbincangkan dan menjadi poin penentu kemenangan.

BACA JUGA: Kosgoro 1957 DKI Jakarta Dukung Airlangga jadi Cawapres

Karena itu, cawapres harus memiliki kapasitas personal yang mumpuni, penerimaan publik yang luas, dukungan partai (elite), serta track record yang positif, susah dicari celah kesalahan dan dosa masa lalunya sehingga sulit bagi lawan politik melakukan downgrade. "Dan tentu saja popularitas dan elektabilitas yang memadai," katanya.

Pangi menilai sejauh ini poros koalisi di Pilpres 2019 masih seperti lima tahun lalu yaitu Jokowi dan Prabowo.

Namun, ungkap Pangi, sesuatu hal yang luar biasa terjadi karena dalam politik adalah seni beragam ketidakmungkinan. "Yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin, yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin," katanya.

Menurut dia, kemungkinan adanya poros lain di luar Prabowo dan Jokowi masih terbuka . Pertama, jika diloloskannya uji materi ambang batas pencalonan presiden menjadi nol persen. Kedua, diloloskannya judicial review terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Menurut dia, situasi ini tentu akan sangat menguntungkan kubu Jokowi. Kesempatan Jokowi memenangkan kompetisi semakin besar. Karena itu, dibutuhkan lawan tanding yang sepadan dari poros Gerindra. "Jadi nama-nama yang selama ini muncul sebagai cawapres bisa saja berubah total," ujarnya.

Jika situasi ini terjadi maka dapat dipastikan peta politik akan berubah drastis. Semua partai punya kesempatan yang sama untuk mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri. Bisa juga terjadi rekomposisi koalisi. "Bahkan terbentuk koalisi yang sama sekali baru," jelasnya.

Ketiga, sambung Pangi, kebuntuan koalisi di kedua poros. Resistensi dan tingkat penerimaan yang rendah atas keputusan Jokowi atau Prabowo terhadap pilihan cawapres akan membuat perpecahan di dua poros ini.

Menurut Pangi, situasi ini membuka peluang dan poros ketiga bisa hidup dan tumbuh kembali. "Bisa saja tiga poros atau tetap dua poros, namun dengan komposisi yang berbeda. Sepertinya beberapa partai sedang mempersiapkan diri untuk memilih opsi ini," katanya. (boy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Giliran Tokoh Pemuda NTT Dukung AHY Maju di Pilpres 2019


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler