2000 Kasus Dugaan Korupsi Sumsel Dilaporkan ke KPK

Kamis, 01 November 2012 – 12:10 WIB
PALEMBANG - Sejak tahun 2004 hingga sekarang, lebih dari 2.000 pengaduan dugaan korupsi di Provinsi Sumatera Selatan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini disampaikan Deputi Bidang Pencegahan Korupsi KPK, Iswan Elmi, di Griya Agung, Rabu (31/10).

“Angka tersebut memang belum tentu akurat, karena bisa saja ada pengaduan yang dilakukan berulang-ulang. Namun berdasarkan realita ada juga tindakan korupsi yang tidak diadukan,” ucap Iswan.

Menurut Iswan, ada beberapa hal yang menyebabkan korupsi, antara lain faktor struktural, faktor sejarah, dan faktor desentralisasi. “Dalam desentralisasi, banyak kewenangan yang dialihkan ke daerah, dan itu potensi cukup besar terjadi di sini. Namun di sisi lain desentralisasi itu sangat penting untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” bebernya.

Untuk melakukan upaya pencegahan korupsi, lanjut Elmi, KPK berkoordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang. Seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kepolisian, dan kejaksaan. “Selain itu, KPK juga melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, juga pernah aktif masyarakat,” jelas Iswan.

Iswan menjelaskan, pencegahan korupsi sangat penting demi meningkatnya akuntabilitas layanan publik dan pengelolaan APBD di Pemprov Sumsel. ”Ini dikarenakan pelayanan publik merupakan alat utama untuk mensejahterakan rakyat,” jelas Iswan.

Sementara itu, Deputi Kepala BPKP Bidang pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah, Imam Bastari mengatakan, penyimpangan akuntabilitas keuangan disebabkan oleh terlambatnya penetapan anggaran dan rendahnya penyerapan APBD sektor jasa. “Selain itu, lemahnya sistem pengendalian internal, kapasitas sumber daya manusia, dan permasalahan aset dapat membuat terjadinya penyimpangan dalam akuntabilitas keuangan tersebut,” pungkasnya.

Khusus untuk selisih lebih perhitungan anggaran (silpa) 2011, lanjut Imam, dari 279 pemerintah daerah (pemda) sebesar Rp38,39 triliun uang yang tidak digunakan untuk pembangunan. “Pada 2011, Silpa Provinsi Sumsel sebesar Rp477,17 miliar dan ini juga memiliki potensi korupsi sangat besar di akhir anggaran,” jelasnya.

Imam menjelaskan, hingga tahun anggaran (TA) 2011, baru empat daerah di Sumsel yang mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam administrasi keuangan yang ditetapkan oleh BPK. “Ini mengalami peningkatan karena pada tahun sebelumnya hanya satu WTP,” jelasnya.

Gubernur Sumsel H Alex Noerdin mengatakan, dirinya terus mendorong masyarakat Sumsel untuk menjadi masyarakat yang antikorupsi. “Sumsel sendiri telah melakukan laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara, rencana aksi daerah pemberantasan korupsi, pakta integritas, e-procurement, dan melakukan sistem informasi manajemen daerah dalam pengelolaan APBD,” urai Alex.

Alex menyatakan tekadnya untuk menuju wilayah zona integritas dan menjadi wilayah birokrasi yang bersih dan melayani. ” Melalui konsltasi gratis ini, pemprov sendiri mendapat banyak masukan karena masih banyak hal yang perlu diperbaiki ke depan,” ucap Alex.

Terpisah, Kepala Pengembangan Jaringan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaan (Fitra), Hadi Prayitno mengungkapkan, ada Rp22 miliar potensi kerugian negara yang termaktub dalam intisari hasil pemeriksaan BPK di semester pertama 2012.

Nilai itu berasal dari 218 kasus, mulai tahun 2008 hingga 2012. Potensi kerugian negara itu muncul karena dua hal. ”Rp21 miliar lebih karena tindak lanjut dari temuan BPK oleh pemprov belum sesuai dengan yang diharapkan,” ungkapnya, kemarin.

Sisanya, sekitar Rp500 juta karena memang belum ditindaklanjuti Pemprov Sumsel. Di sini, kata Hadi, terlihat ketidakpatuhan pengelolaan APBD. ”Gubernur harus paksa birokrasi (satuan kerja) untuk mereka selesaikan itu,” cetusnya.

Angka potensi kerugian negara ini akan terus muncul dan mengganggu penilaian pengelolaan keuangan Pemprov Sumsel. Itu pula yang salah satunya membuat tidak bisa diraihnya predikat pengelolaan anggaran wajar tanpa pengecualian (WTP). ”Batas waktunya untuk penyelesaian lima tahun. Kalau tidak, BPK akan menyatakan itu tidak dapat diselesaikan dan kasusnya akan naik status jadi kerugian negara,” beber Hadi.

Jika sudah menjadi kerugian negara, maka sudah jadi urusan hukum. Ia juga menyarankan kepada Pemprov Sumsel untuk menolak dana penyesuaian. Jika pemda memaksakan diri mengelola dana itu, maka besar kemungkinan akan terjadi penyimpangan. (tha/cj18/ce2)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jamaah Haji Meninggal di Bus

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler