2017, Lalu Lintas Bogor Lumpuh

Selasa, 02 April 2013 – 06:55 WIB
BOGOR- Warga Bogor mesti bersiap menghadapi kenyataan pahit. Empat tahun lagi (2017), lalulintas Kota Bogor dipastikan mengalami stagnasi (tak begerak sama sekali). Hal ini lantaran peningkatan jumlah kendaraan yang melonjak tajam, sementara lebar ruas jalan tak berkembang.

“Kalau tak secepatnya diambil tindakan, empat-lima tahun ke depan, lalu lintas bisa stagnan. Sekarang saja sudah lumayan sulit untuk bergerak,” tegas Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor Suharto kepada Radar Bogor, Senin (1/4).

Data yang dihimpun, pertumbuhan kendaraan sejak 2010 sudah berlangsung pesat. Setiap tahun, rata-rata pertumbuhan terjadi hingga sepuluh persen. Suharto menjabarkan, di tahun 2010 keberadaan mobil penumpang atau mobil pribadi milik warga Kota Bogor saja sudah mencapai 51.145 unit, sedangkan mobil barang 11.295 unit, bus 836 unit, sepeda motor 206.845 unit dan kendaraan khusus 103 unit. Total keseluruhan sebanyak 270.845 unit kendaraan (data selengkapnya hingga 2013 lihat grafis).

“Sejak 2006, peningkatan kendaraan pribadi roda empat kurang lebih sepuluh persen setiap tahunnya. Sementara kendaraan roda dua sebesar 17 persen,” tandasnya. Pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi dibarengi jumlah angkutan kota Bogor yang gemuk sebanyak 3.412 kendaraan. Jumlah itu terbagi ke dalam 23 trayek, seperti 03 Bubulak-Barangsiang dan 02 bubulak-Sukasari. Sedangkan angkutan angkutan kota dalam provinsi (AKDP), seperti jurusan Sukasari-Cisarua dan mobil L-300 Bogor-Sukabumi, jumlahnya 4.644 yang dibagi menjadi sepuluh trayek.
   
“Ditambah fenomena pelat B. Tidak bisa dipungkiri, kami pantau di sejumlah pusat keramaian, pelat B yang mendominasi,” terangnya.

Akibat kepadatan kendaraan di jalan raya, kata dia, berimbas pada pelbagai problematika. Sebut saja uang yang terbakar percuma dari bahan bakar minyak (BBM), hingga tingkat polutan yang tinggi hingga berdampak pada kesehatan masyarakat. Suharto menganalogikan kerugian dalam kepadatan kendaraan di jalan raya mencapai Rp1,5 miliar perjam. “Itu analisa di tahun 2006. bayangkan sekarang berapa kali lipat. Karena kami belum melakukan penelitian lebih lanjut di 2013 ini,” tukasnya.

Lantas apa solusi yang dilakukan Pemkot Bogor? Suharto memastikan, pihaknya kini mulai melirik konsep alih pemakaian kendaraan pribadi ke tranportasi umum. Pertama, pihaknya menggeber langkah transformasi operator kendaraan umum menjadi berbadan hukum. Dengan kata lain, manajemen angkutan umum akan memiliki regulasi yang jelas sehingga mudah diatur.

“Mulai dari hal yang paling mendasar, yakni pelayanan. Kita terapkan standar pelayanan minimun bagi angkutan umum, baik angkot dan bus. Manajemennya harus dirubah. Sopir harus digaji dan tidak bicara setoran. Besok (hari ini) saya ekspos masalah lalu lintas ini di dewan,” tegasnya.

Selain itu, lanjut dia, angkutan umum juga harus beroperasi sesuai supply and demand. Pada jam-jam tertentu, di mana permintaan transportasi banyak, maka operator bisa menurunkan armadanya. Hal itu berlaku sebaliknya.

Suharto mengaku, pihaknya sudah mulai menyosialisasikan kepada para pemilik angkutan umum untuk melaksanakan konsep operator angkutan berbadan hukum. Mengingat, untuk bisa menuntaskan permasalahan macet, harus dilakukan bersama dengan seluruh pihak terkait dan secara terintegrasi. “Termasuk pada konsep atau sistem transportasi. Nantinya harus terintegrasi. Kita terapkan sistem jalur angkutan utama dan pengumpan.  Baru kemacetan bisa terurai,” kata dia.

Hal ini diamini pakar transportasi dan tata ruang Budi Arief. Menurut dia, program pertama yang harus segera direalisasikan pemkot adalah merubah sistem angkutan umum menjadi berbadan hukum. Kota Bogor yang kerap dijuluki kota seribu angkot harus bisa membuktikan kemampuan untuk menata angkutan perkotaannya. “Setelah masalah ini teratasi, baru kita bicara transportasi tersistem. Misalnya busway, MRT, LRT dan lain-lain. Lupakan sistem konvensional, kita harus berkembang dan mulai mengonsep infrastruktur dengan benar,” cetusnya.

Budi membeberkan, setelah menjadikan angkutan umum berbadan hukum, pemerintah kemudian harus mulai menata jalur infrastruktur. Tak sembarang angkutan umum berada di setiap jalur, namun diberlakukan konsep integrasi dan terkoneksi. “Ada pengumpan dan ada jalur transportasi utama. Untuk jalur khusus, operator bisa siapa saja. Limas PDJT atau angkutan umum lain bisa dimasukan ke sana. Sedangkan untuk angkot, harus beroperasi sesuai supply and demand,” ungkapnya.

Jika mulai terarah, kata dia, mau tidak mau Kota Bogor harus mulai memberlakukan regulasi khusus seperti di Ibukota Jakarta. Sebut saja seperti kawasan three in one, jalur berbayar dan pajak progresif kendaraan. Kelak, pemasukan dari regulasi khusus itu bisa untuk menyubsidi operasional dan sarana prasarana angkutan umum. “Semisal untuk mengatasi fenomena pelat B, kita bisa buat sebuah wilayah perparkiran besar. Dan orang melanjutkan perjalanan di Kota Bogor menggunakan transportasi umum yang sudah tertata dan terkonsep rapi tadi,” ucapnya.

Budi menambahkan, semua program dan konsep itu harus didukung dari sisi tata ruang dan perkotaan sebagai bagian yang tak terpisah dari infrastruktur. Ia menyindir pembangunan hotel Amarossa di kawasan Tugu Kujang yang mengancam akan menambah kesemrawutan lalu lintas di Kota Hujan. “Setidaknya ada empat titik masalah lalu lintas yang terjadi akibat pembangunan hotel itu. Sudah jalur macet parah karena persimpangan dan pertemuan jalur-jalur ramai, pusat perbelanjaan besar, sekarang ditambah keluar masuk kendaraan di hotel itu,” kata dia.

Menurut dosen di Universitas Pakuan in, Pemkot Bogor memiliki andil besar dalam menambah kesemrawutan lalu lintas di kawasan tersebut. Menurutnya, pembangunan hotel itu tidak mengindahkan tinjauan kebutuhan manusia sebagai episentrum. Tata nilai Tata nilai yang termasuk land mark, budaya, ikon dan karakter daerah terabaikan begitu saja. “Bukan melarang. Sebenarnya bisa saja jika memang pembangunan sudah mempertimbangkan nilai-nilai tadi. Misal, agar traffic tidak parah, mungkin hanya tiga lantai. Contoh Monas. Dalam radius sekian harus kosong dan menjadi kawasan hijau,” pungkasnya.

Tak hanya itu, kata dia, Pemkot sendiri menyatakan kawasan Tugu Kujang merupakan wilayah pengembangan tipe A. Dalam arti, wilayah strategis yang justru dibutuhkan ekstra kehati-hatian dalam setiap pembangunan yang ada. “Ada budaya di sana, ada ciri khas, kebanggaan masyarakat, sekaligus lalu lintasnya sudah sangat padat. Butuh good will dari walikota untuk menyelesaikan ini,” cetusnya. (ric/e)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Segera Lelang Mobil Bekas Pemprov DKI

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler