21 Jam 55 Menit Lagi Genap 105 Tahun

Senin, 10 Desember 2012 – 14:23 WIB
BAGI warga kota wisata dan kota budaya, Rio de Janeiro, Brazil, nama Oscar Ribeiro de Almeida Niemeyer Soares Filho sangat popular. Dia sudah dianggap setengah dewa. Imaginasi arsitekturalnya betul-betul mewakili pikiran, perasaan, jiwa, dan semangat Negeri Samba, yang bermotto Ordem e Progresso atau “Orde” dan “Kemajuan” itu.

Ada 1.001 ragam cerita seputar ketokohan Oscar Niemeyer itu, jika Anda berada di Pantai Copacabana, tempat sehari-hari dia bermukim. Apartemennya persis di tepi pantai. Tidak terlalu besar, tingginya juga sejajar dengan gedung-gedung bertingkat lainnya. Gedungnya paling melengkung, di antara hotel-hotel yang model arsitekturnya masih kubus-kubus. Ruang kerjanya yang santai, menghadap ke arah Copacabana, yang konon adalah pantai tercantik di muka bumi itu.

Dia suka menghisap cerutu sambil menyaksikan matahari terbit dari ufuk timur. Dia suka menangkap sinarnya mentari dari balik ruangannya yang serba “meliuk-liuk” itu. Tidak ada desain lurus, kotak, selain sekadar aksesoris. Semua serba melengkung. Bentuk ruangnya juga lekukan setengah lingkaran berkaca bening, dengan delapan bingkai berwarna cokelat, dan dikelilingi sofa putih di tepinya. Lekukan Pantai Copacabana, jika diintai dari balik ruang Oscar Neimeyer itu memang sangat seksi, seperti-maaf- payudara perempuan cantik yang sedang menghadap ke utara, ke arah pantai.

Bukan hanya di Rio de Janeiro, yang kota pantai, dengan tiga pantai paling eksotik di dunia, Copacabana, Ipanema dan Leblon yang hanya berbatas bukit. Dari puncak bukit, semuanya berpasir putih. Tentu, pemandangan perempuan cantik, bertubuh seksi, “bamper” depan-belakang amat menggoda mata, setahun lebih dari 8 juta turis? Itu sudah sama dengan target kunjungan wisata ke Indonesia dalam setahun, sama dengan satu kota di Rio de Janeiro saja.

Saya juga terkadang heran seribu heran, mengapa orang-orang Amerika Latin, yang paling banyak berkunjung di sana, dikaruniai payudara dan pantat seksi. Dan 99 persen, pakaian mereka selalu menonjolkan dua bagian paling “sulit (baca: rugi, red) untuk tidak menengok” itu. Baju-baju favorit mereka, minimalis, mengeksplorasi belahan dada, dan celana jeans yang ketat. Tua, muda, remaja, sama saja. Nenek-nenek pun pede dengan model pakaian seperti itu.

Langit biru, gumpalan awan kadang menjadi lukisan abstrak yang khas tropis, pantai yang bersih, deburan ombak kecil berbuih putih, pasir kemilau menggoda mata memberi pantulan cahaya, itu adalah pemandangan yang akrab dan menginspirasi ide-ide kakek yang lahir 15 Desember 1907 itu. Jika Oscar Niemeyer bisa bertahan hidup 21 jam 55 menit lagi, usianya sudah genap 105 tahun. Nama Niemeyer, sudah lama menjadi nama jalan di dekat Pantai Leblon, di balik bukit dari Copacabana.

Gayanya masih sangat up to date. Sepatu kulit berwarna hitam yang disemir mengkilat. Duduk dengan kaki kiri diangkat, menumpang parkir di paha kanan, tangan kanan menjulu di atas punggung sofa, jari tengah dang telunjuk menjepit cerutu. Rambutnya disisir rapi, sekalipun dari dahi sampai ke ubun-ubun sudah seperti hutan tropis di Indonesia, yang banyak ditebang liar. Tetapi, gel dan wetlook untuk merapi sayap kiri kanan rambutnya ke belakang, cukup memberi aksen bahwa Oscar Niemeyer sangat rapi dan perfect.

Soal cerutu? Dia memang orang yang dekat dengan Fidel Castro, legendaris Cuba yang bangga dengan rokok berbalut daun tembakau, dan aromanya khas menyengat hingga radius 50 meter itu. Peninggalan arsitektur Portugis yang lama menguasai Brazil adalah gedung bercorak Eropa, bergaya melengkung simetris, kiri kanan, lukisan, detail, seperti yang kita temukan di hampir semua istana di Eropa Barat, Eropa Timur sampai Selatan. Lihat saja karya-karya arsitekturalnya, nyaris tidak ada yang mirip dengan gaya-gaya klasik Eropa, dengan segala pernak-perniknya.

Dia lebih suka desain yang sensual, lekukan, bebas, yang terinspirasi dari ombak, sungai, pantai, bukit-bukit, dan keindahan siluet perempuan yang indah. Saya yang hari ini masih di Brasilia, sempat melihat-lihat karya-karyanya yang sangat berani. Tidak kaku, tidak banyak garis lurus dan kesan keras. Semua selalu ada lekukan seksi. Bahkan, mendesain katedral pun, yang bagi umat Katholik (74 persen orang Brazil pemeluk Katholik Roma, 15,4 persen Protestan, red) sangat sakral dan standar, dia buat sangat beda di Brasilia. Detail bangunan itu, silakan di eksplorasi di internet.

Termasuk gedung National Congress of Brazil yang memiliki dua aksesoris, mangkuk terbuka dan tertutup itu, lalu Cultural Complex of the Republic yang bangunannya seperti piramida ujungnya dipangkas. Juga Palacio da Alvorada, Palacio do Planalto, dan Supreme Federal Court, yang semuanya sudah terbangun sejak tahun 1960. Saat itulah ibu kota negara dipindah dari Rio ke Brasilia.

Saya sempat ke istana kepresidenan, Palacio da Alvorada, yang dirancang oleh Oscar Niemeyer itu. Kesan saya, ramah lingkungan, ramah sosial, dan ramah dalam arti yang sesungguhnya. Istana itu tidak ada pilar-pilar bulat besar-besar, yang menandakan wibawa siapa penghuninya, seperti hampir semua istana di Eropa! ---Istana Presiden RI di Jakarta, masih ada pilar-pilar besar, karena peninggalan Belanda---. Desain Oscar betul-betul seperti rumahan biasa. Berlantai satu, tidak tingkat, dikelilingi danau buatan berpuluh-puluh hektare, karena Brasilia tidak punya pantai, sehingga di sisi lain dari danau itu dibuka untuk publik, sebagai tempat favorit berlibur dan berolahraga.

Di belakang istana itu, masih hutan belukar, hutan tropis yang lapang. Sejauh mata memandang, hutan itu seperti tak berujung. Daya jangkau mata kita kalah dengan panjang, kalah luas dari hutan heterogen khas daerah tropis. Setiap hari, istana itu dikunjungi ribuan anak sekolah, turis, yang ingin menyaksikan tempat tinggal orang nomor satu di negeri berpenduduk 200 juta jiwa itu.

Pagi hari pukul 06.30 di Brasilia masih gelap. Berkabut, rumputnya berlapis embun, udara sejuk 15 derajad, mirip di Bandung. Pepohonan yang ditanam juga mirip-mirip dengan yang ada di Indonesia, sesama daerah tropis dengan dua musim. Ada mangga, pisang, jambu, nanas, nangka, bambu, beringin, dan lain-lain. Tapi soal rasa dan ukuran, sungguh berbeda. Bagi kami, yang sedang mengikuti World Cultural in Development Forum (WCF) bersama Kemendikbud RI, memahami kebudayaan Negeri Samba ini menjadi amat penting untuk kerjasama di bidang kebudayaan ke depan.

Bagian paling favorit difoto-foto pengunjung adalah tempat petugas jaga istana yang mirip penjaga istana Buckingham di London sana. Mengenakan kostum putih-putih, lengkap dengan pedang panjangnya, dan tidak berkedip meskipun digoda-goda. Di sampai pos penjaga itu, ada pohon mangga yang buahnya lebat dan dibiarkan matang di pohon. Sepertinya tidak ada yang perhatian, dan menyantap buahnya. Ternyata, pengunjung tidak dilarang memanjat dan menyantapnya? Wow. Betul-betul istana untuk rakyat! Selamat jalan Bapak Arsitektur Brazil. Selamat “berpindah alamat” menuju tempat yang lebih istimewa. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mari Elka Kerja Bakti Juga-MKBJ 2012

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler