27 Tahun Meneliti, Belum Bisa Ungkap Misteri

Jumat, 02 Maret 2012 – 00:02 WIB
Edy Iskanto.

Petir, bagi sebagian besar orang, adalah fenomena alam yang menakutkan. Tapi, bagi Edy Iskanto, petir justru sesuatu yang terus diburu. Penelitiannya selama 27 tahun menjadikan Edy sebagai salah seorang pakar petir andal di tanah air.

AHMAD BAIDHOWI, Jakarta

PADA suatu sore mendung pekat menggumpal di atas perkebunan teh di kawasan Gunung Mas, Bogor. Sekelompok orang memperhatikan gumpalan awan itu dengan saksama. Sesaat kemudian, mereka menembakkan roket yang dihubungkan dengan kawat baja tipis. Dalam sekejap, roket melesat ke angkasa hingga ketinggian 500 sampai 1.000 meter, menembus gumpalan awan.

Tiba-tiba petir menyambar. Cahayanya yang menyilaukan mata merambat melalui kawat baja yang diikatkan pada roket, menghunjam ke tanah. Asap pekat pun mengepul, diiringi gelegar suara yang memekakkan telinga.

"Itu adalah roket pemicu petir. Kegiatan seperti itu kami lakukan berulang-ulang, ratusan kali. Itu merupakan rangkaian penelitian untuk mengukur kekuatan sambaran petir," ujar Edy Iskanto kepada Jawa Pos di kompleks Gedung Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PLN pekan lalu (23/2).

Yang diceritakan Edy adalah penelitiannya bersama ahli dari Jepang beberapa tahun silam. Dia mengaku mendapatkan banyak ilmu berkat kerja sama dengan para ahli petir dari Negeri Sakura tersebut. Edy pun menguatkan tekad untuk menggeluti penelitian di bidang petir.

Secara teori, petir terjadi akibat perbedaan kandungan ion positif yang ada di awan dengan ion negatif yang ada di dalam bumi. Sebelum turun hujan, biasanya diawali terbentuknya awan tebal yang mengandung uap air. Nah, di dalamnya banyak sekali pasangan ion positif dan ion negatif. Melalui proses kimia dalam awan tebal, ion positif yang dihasilkan melebihi ion negatif. Akibatnya, ion positif tersebut mencari ion negatif yang ada di bumi.

Perpindahan ion positif dari angkasa ini menyebabkan terjadinya loncatan ion positif ke bumi dan disebut kilatan petir. "Penelitian tentang petir sudah dilakukan puluhan tahun di berbagai belahan dunia. Tapi, sampai saat ini belum ada ilmu yang sepenuhnya bisa mengungkap fenomena alam ini. Petir tetap menyimpan misteri," ucapnya.

Jalan hidupnya sebagai peneliti petir dimulai pada 1980. Sebagai mahasiswa ikatan dinas, Edy langsung masuk ke PLN setelah lulus dari Fakultas Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Setelah menjalani beberapa tahap training, pada 1982 Edy menjadi staf seksi tegangan tinggi di Laboratorium Listrik PLN. Dia kemudian dipercaya sebagai kepala seksi penelitian petir di laboratorium tersebut. "Pengetahuan tentang perilaku petir sangat penting bagi sistem kelistrikan. Sebab, instalasi listrik sangat rawan rusak jika tersambar petir," katanya.

Hingga pensiun pada akhir tahun lalu, Edy konsisten dalam bidang penelitian arus tegangan tinggi yang terkait dengan petir di PLN. Jabatan terakhirnya adalah senior engineer I " tegangan tinggi di PLN Pusat. Setelah pensiun, pria kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, pada 1955 itu aktif di lembaga jasa sertifikasi ketenagalistrikan.

Edy menyebut, penelitian tentang petir sudah dilakukan beberapa teknisi PLN pada 1960-an. Pada 1970-an, PLN mulai mengoperasikan alat pencatat jumlah sambaran petir secara otomatis yang disebut LFC (lightning flash counter). LFC ini bekerja berdasar perubahan medan elektrostatis yang diakibatkan oleh terjadinya sambaran petir.

Memasuki era 1980-an, penelitian dengan LFC terus ditingkatkan. Jumlah LFC terakhir tercatat 46 pos yang tersebar hanya di Pulau Jawa, mulai ujung barat di Pelabuhan Ratu hingga ujung timur di Banyuwangi. Pos-pos LFC itu ditangani Edy dan timnya.

Bertahun-tahun data dari pos LFC dikumpulkan. Salah satu fakta penting yang ditemukan adalah tingginya hari guruh di Indonesia. Hari guruh dihitung jika pada hari tersebut terdapat guruh atau petir yang terdeteksi oleh pos pencatat, seperti milik PLN maupun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Hasilnya, hari guruh di Indonesia bisa menembus 200. Artinya, dalam satu tahun (365 hari), terdapat sekitar 200 hari terjadi petir di wilayah Indonesia. Wilayah dengan frekuensi sambaran petir paling tinggi di Indonesia adalah sekitar Jatiwangi, Bogor, yang mencapai lebih dari 200. Angka tersebut yang tertinggi di dunia.

"Pada 1987 hasil penelitian itu dipresentasikan oleh Doktor Soenoto dalam sebuah konferensi tentang petir di Den Haag (Belanda). Beliau adalah salah satu pelopor penelitian petir di Indonesia. Tentu saja data itu membuat peserta heboh. Sebab, di negara lain hari guruhnya tidak sampai 50," ungkap Edy.

Setelah konferensi itu, para peneliti petir dari berbagai belahan dunia berduyun-duyun datang ke Indonesia. Di antaranya dari Jerman, Belanda, Prancis, Australia, dan Amerika Serikat (AS). Kelompok peneliti yang paling intens melakukan riset tentang petir di Indonesia berasal dari Jepang.

Pada periode 1987"1994, para peneliti dari Universitas Nagoya dan Universitas Osaka meneliti petir di perkebunan teh Gunung Mas, Bogor. Mereka bekerja sama dengan PLN, ITB, dan LAPAN. Bahkan, Edy juga sempat diajak berburu petir ke Jepang.

"Sepuluh hari kami menunggu di kawasan pegunungan. Tapi, tidak ada satu pun petir yang muncul. Karena itu, dengan bercanda, mereka bilang saya ini adalah pengusir petir," ujarnya lantas tertawa.

Penelitian petir juga dilakukan di internal PLN. Pada 1989, ketika jaringan kabel transmisi SUTET Gandul-Cibinong, belum dipasangi konduktor, kesempatan itu digunakan untuk mengukur arus petir. Caranya dengan memasang antena setinggi 1,5 meter di atas setiap menara dan melengkapinya dengan alat pengukur arus.

Dari 384 menara tersebut, diperoleh data tentang besarnya nilai arus petir yang menyambar transmisi. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kurva distribusi arus petir di Indonesia (khususnya di jalur Gandul-Cibinong) sedikit berbeda dengan kurva distribusi arus petir yang dipublikasikan di Eropa atau Afrika.

Kompilasi berbagai data penelitian Edy dan timnya itu menjadi acuan standar keselamatan dalam pemasangan alat penangkap petir yang dipasang pada instalasi listrik, rumah bertingkat, maupun bangunan-bangunan tinggi lain di Indonesia.

"Menjelang krisis moneter 1997, kami tidak punya lagi dana untuk melakukan penelitian lapangan. Jadi, setelah itu penelitian hanya dilakukan di laboratorium. Karena tidak ada penelitian yang lebih aktual, data yang kami peroleh itu sampai saat ini masih menjadi acuan," paparnya.

Kepakarannya di bidang petir membuat Edy hampir selalu ikut dalam tim peneliti kecelakaan yang disebabkan petir. Misalnya, kebakaran tangki minyak Pertamina di Cilacap dan kilang minyak di Indramayu, serta kebakaran hutan akibat sambaran petir. Bahkan, Edy sering dimintai pendapat oleh pihak berwajib dalam kasus meninggalnya seseorang akibat tersambar petir.

Sebagai ilmuwan, Edy juga tidak pelit ilmu. Dia sudah mempresentasikan hasil penelitian petir di Indonesia di berbagai forum ilmiah internasional. Mulai Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Jepang, Tiongkok, Selandia Baru, Afrika Selatan, Prancis, hingga AS. (*/c2/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merantau ke Jakarta, Uber Anak Jalanan, Asuh Yatim Piatu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler