jpnn.com, JAKARTA - Sebanyak 28 platform pinjaman online (pinjol) atau daring mengalami permasalahan memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp 7,5 miliar.
Data tersebut disampaikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam konferensi pers di Jakarta pada 5 Agustus 2024.
BACA JUGA: Survei Asatu: Masalah Judi Online Berhubungan Erat dengan Pinjol
Sayangnya, OJK tidak mengumumkan nama-nama platform yang tidak bisa memenuhi batasan tersebut.
Pengamat ekonomi digital Nailul Huda dari Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) mensinyalir 28 platform yang tidak bisa memenuhi batas modal karena mereka mengalami kesulitan dalam bisnisnya.
BACA JUGA: OJK Blokir 8.271 Pinjol Ilegal
"Sejak awal tahun ini OJK menetapkan aturan baru bunga untuk P2P lending. Dalam aturan baru tersebut, tingkat bunga pendanaan untuk sektor produktif ditentukan 0,1% per hari dan sektor konsumtif menjadi 0,3% per hari," terang Nailul Huda dalam keterangannya, Sabtu (17/8).
Dia menilai niatan OJK baik dalam pengaturan bunga supaya tidak memberatkan nasabah. Namun, hal ini juga pasti bisa berdampak pada keberlangsungan bisnis P2P sendiri.
BACA JUGA: Malahayati Nusantara Raya Buka Layanan Masyarakat yang Terjerat Pinjol Ilegal
Nailul Huda menduga 28 platform tersebut mungkin mengalami kesulitan dalam mengumpulkan modal untuk memenuhi batas minimum tersebut.
"Angka Rp7,5 miliar seharusnya tidak terlalu besar untuk platform di industri keuangan,” ujar Nailul Huda.
Model bisnis P2P lending, menurut Nailul Huda berbeda dengan model bisnis pinjaman yang berasal dari institusi keuangan lain.
Pada bisnis P2P, terdapat lender individu dan lender institusi dengan imbal hasil yang lebih menarik menjadi daya tarik utama bagi mereka untuk berinvestasi. Bila bunga terlalu rendah, bisnis ini bisa tidak berkembang dan bisa berdampak buruk pada konsumen.
"Itu karena masyarakat yang sedang membutuhkan pinjaman dana bisa terjebak dengan platform pinjaman ilegal yang rentan dengan penipuan dan praktik penagihan yang menyengsarakan konsumen,” jelasnya.
Nailul Huda menilai, pengaturan bunga konsumtif dan produktif di angka 0,3% dengan transparansi biaya bisa menjadi win-win solution bagi platform dan nasabah. Pinjaman online biasanya bersifat tenor pendek, tidak seperti pinjaman konvensional yang tenor panjang.
"Penerapan bunga 0,3% bisa menjadi solusi supaya platform legal tetap tumbuh, OJK tetap bisa mengatur dan masyarakat terhindar dari pinjol ilegal,” tambahnya.
Sebelumnya, OJK lewat POJK Nomor 10/2022 Pasal 50 mengatur penyelenggara P2P lending wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Hingga satu tahun sejak aturan itu diundangkan, P2P lending diwajibkan memiliki paling sedikit modal Rp2,5 miliar. Lalu, pada tahun kedua, naik menjadi Rp7,5 miliar.
Sementara, ekuitas P2P lending paling sedikit Rp12,5 miliar berlaku tiga tahun sejak aturan itu diundangkan. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad